Selasa, 30 Desember 2008

Sinergi Industri Kreatif dan Seluler



EKONOMI kreatif secara umum dan industri kreatif khususnya diyakini akan menjadi primadona. Ada tiga alasan yang mendasari keyakinan tersebut, yaitu hemat energi karena lebih berbasis pada kreativitas, lebih sedikit menggunakan sumber daya alam, dan menjanjikan keuntungan lebih tinggi.
Ketiga faktor di atas juga ditopang oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang belimpah. Saat ini jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta. Populasi yang berusia 15-29 tahun berkisar 40,2 juta atau hampir 18,4% merupakan pasar yang sangat gemuk bagi produk-produk industri kreatif.
Aktivitas ekonomi kreatif meliputi 14 subsektor, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; busana; video, film, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangannya.
Data Departemen Perdagangan (2006) menyebutkan subsektor yang kontribusinya terbesar pada produk domestik bruto (PDB) adalah busana 44%. Disusul kerajinan 28%, periklanan dan desain masing-masing 7%, arsitektur 3,2%, percetakan dan penerbitan 3,5%, serta musik 3%.
Selama periode 2002-2006 industri kreatif Indonesia mampu menyerap tenaga kerja rata-rata 5,8% dari keseluruhan tenaga kerja nasional atau 5,4 juta. Nilai ekspornya mencapai Rp 69,8 triliun atau sebesar 10,6% dari ekspor nasional.
Thomas L Friedman, penulis buku ''The World is Flat'' mengatakan kita sekarang sudah sampai pada gelombang ketiga globalisasi. Pada tahap itu indivisu menjadi kekuatan utama didukung oleh teknologi komunikasi dan informasi yang kian canggih, sehingga dunia tak lagi dibatasi jarak dan waktu.
Dalam konteks itu, industri seluler menjadi salah satu pendukung kuat dalam mengembangkan industri kreatif. Terutama yang menonjol pada saat ini adalah pada subsektor musik; permainan interaktif; serta video, film, dan fotografi.
Short message service (SMS) atau layanan pesan pendek telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang mengarah ke ekonomi kreatif. Contohnya berupa iklan secara terbatas, konsultasi manajemen dan medis, motivasi, dan sebagainya.
Layanan yang berpotensi besar adalah ring back tone (RBT) atau nada sambung pribadi. Lagu ''Kenangan Terindah'' milik Samsons selama 2006 diunduh lebih 2,1 juta kali. Secara keseluruhan lagu-lagu pada album ''Naluri Lelaki'' itu diunduh 3 juta kali lebih.
Jika tarifnya berkisar Rp 7.000-Rp 9.000 per sekali unduh, uang yang dikumpulkan bisa sekitar Rp 20 miliar. Penghasilan dari nada sambung pribadi menyumbang hampir 30% pendapatan grup band yang digandrungi para remaja di Tanah Air tersebut.
Games atau permainan juga menjadi salah satu kegemaran para pemilik ponsel. Menjadi peluang bagi para desainer games untuk melayani pasar yang masih terbuka lebar itu. Belum ada data resmi berapa perolehan para operator seluler dari games.
Penerbitan atau buku maya juga potensial dikembangkan memanfaatkan ponsel. Novelis dan penyanyi Dewi ''Dee'' Lestari yang populer lewat novelnya ''Supernova'' sudah meluncurkan novel ''Akar'' dan ''Filosofi Kopi'' melalui layanan ponsel berbasis wireless application protocol (WAP).
Agar bisa membaca karya tersebut pembeli memang paling tidak harus memiliki ponsel generasi ke-3 (3G) yang bisa mengoperasikan sistem WAP atau general packet radio service (GPRS), standar komunikasi nirkabel yang lebih cepat dari WAP.
Perkembangan teknologi ponsel kini telah memungkinkan masyarakat menikmati tayangan televisi dan internet. Berpijak dari situ seluruh subsektor industri kreatif dapat tercakup oleh layanan seluler. Tinggal bagaimana para operator seluler menangkap dan memanfaatkan peluang itu.
Ke depan, bisa dipastikan industri seluler akan menjadi salah satu penopang utama perkembangan aktivitas ekonomi kreatif. Apalagi jumlah pelanggan seluler hingga pertengahan 2008 sekitar 113,2 juta. Suatu angka yang menggiurkan.

Menggarap Sektor Penyelamat Ekonomi


Krisis global menimbulkan dampak tidak ringan, termasuk di Indonesia. Perekonomian diperkirakan akan melambat dan banyak usaha berguguran. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak lagi bisa terhindarkan. Di Jateng, misalnya, saat ini sekitar 7.000 pekerja sudah merasakan pil pahit itu, dirumahkan atau bahkan dilepas oleh perusahaannya. Tahun depan sekitar 3.000 pekerja lagi akan menyusul. Sungguh suatu kenyataan yang amat memprihatinkan dan membutuhkan penanganan serius agar tak muncul gejolak. Dalam situasi sulit seperti yang terjadi pada saat sekarang gejolak sosial gampang muncul dan tersulut.

Pemerintah akan memeta sektor-sektor industri yang terkena dampak krisis global dan berpotensi melakukan PHK. Selanjutnya, mereka diberi insentif berupa fiskal. Pemberian stimulus fiskal itu didasarkan pada pertimbangan kontribusi dalam menyerap tenaga kerja, kinerja ekspor, dan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh). Indusri yang sudah mengajukan fasilitas insentif fiskal antara lain industri ban yang 70% produksinya diekspor; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); serta sektor pertanian, perikanan, kelautan, dan kehutanan. Selain fiskal, ada upaya pengamanan pasar dan fasilitas trade financing.

Di sektor industri manufaktur, tekstil dan sepatu minta restrukturisasi mesin, perlindungan impor, dan kewajiban pembelian dengan rupiah. Industri baja juga meminta perlindungan impor dan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri. Khusus bagi pedagang kaki lima (PKL), pemerintah akan berusaha menciptakan pasar melalui pembangunan tempat bagi mereka. Sektor UMKM termasuk di dalamnya PKL, memperoleh perhatian karena jumlahnya 49 juta. Sekitar 22 juta dari angka tersebut bergerak di sektor perindustrian dan perdagangan, sedangkan sisanya di sektor perkebunan, pertanian, dan perikanan.

Para korban PHK diperkirakan akan berusaha mempertahankan hidup dengan cara beralih ke sektor informal walaupun secara kualitas agak turun. UMKM-lah yang menjadi tumpuan, sehingga tepat sekali kalau pemerintah memberikan insentif yang lebih besar ke sektor tersebut. Di sisi lain, pemerintah berencana membuka proyek infrastruktur untuk menyerap tenaga kerja. Namun proyek bersifat padat karya itu tak bisa diharapkan kontinuitasnya. Anggaran proyek infrastruktur tahun depan sekitar Rp 70 triliun dan dapat menyerap tenaga kerja 2,5 juta-3,5 juta orang. Angka yang cukup besar untuk menanggulangi korban PHK.

Sembari bekerja keras sekaligus berharap resesi tidak berkepanjangan, kita memang perlu menggarap sektor-sektor yang menjadi katup pengaman dalam mengatasi jumlah penganggur yang dipastikan membengkak. Khususnya usaha-usaha informal, industri rumahan, dan jangan lupa industri kreatif yang selama ini luput dari perhatian tetapi berpotensi sangat besar. Industri kreatif berupa aktivitas yang bertumpu pada kreativitas tersebut memiliki dampak ikutan cukup berarti terhadap perekonomian. Tahun 2002-2006, misalnya, sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 6,2% atau senilai 104,7 triliun.

Industri kreatif mencakup 14 subsektor, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; busana; video, film, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan. Hingga kini mereka mampu berkembang secara mandiri. Sebagian besar tanpa uluran tangan perbankan. Aktivitas ekonomi tersebut yang juga meliputi sektor UMKM dan informal perlu digarap serta dibantu, karena berpeluang menjadi penyelamat terkait dengan resesi dan perlambatan ekonomi yang diperkirakan mewarnai 2009.

Minggu, 05 Oktober 2008

Investasi di Wonogiri: Semangat dan Kecemasan

Wonogiri segera mencatatkan sejarah baru. Daerah yang selama ini seolah-olah dihindari para investor, tahun ini akan merealisasi sebuah kawasan industri. Bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Guangxi, China, fasilitas tersebut dibangun di Alas Kethu. Nilainya tidak main-main, karena menyentuh angka Rp 82 triliun. Tidak mengherankan kalau Pemkab Wonogiri tampak serius merencanakan dan menggarap proyek yang diharapkan mampu membuka cakrawala baru bagi kabupaten yang selama ini selalu diidentikkan dengan hal-hal yang agak negatif, antara lain tiwul sebagai lambang kemiskinan dan keterbelakangan.

Direncanakan pada kawasan industri itu kelak akan berdiri sekitar 50 pabrik yang bergerak di berbagai sektor industri. Pabrik-pabrik tersebut diperkirakan dapat menampung 15 ribu tenaga kerja. Jika angka-angka itu benar-benar bisa diwujudkan, sungguh merupakan suatu prestasi tersendiri sekaligus pemicu bagi investor-investor lainnya untuk datang dan memberikan kontribusi positif bagi gerak maju Kabupaten Wonogiri beserta seluruh warga masyarakatnya. Selama ini investasi di eks Karesidenan Surakarta hanya memusat di beberapa daerah, yakni Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Sragen.

Namun, sebagaimana biasa suatu rencana pembangunan akan selalu mendapat reaksi, baik yang bersifat pro atau setuju dan kontra atau menentang. Demikian pula yang terjadi pada rencana pembangunan kawasan industri di Wonogiri. Pihak yang menentang beralasan lokasinya di Alas Kethu dinilai kurang tepat, karena bisa berdampak pada degradasi lingkungan. Hutan itu selama ini menjadi salah satu penyangga wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, sekaligus paru bagi udara di daerah tersebut. Jika keseimbangannya terganggu, akan merugikan lewat banjir dan pengurangan pasokan oksigen.

Pihak yang setuju menilai rencana pembangunan kawasan industri itu lebih banyak berdampak positif ketimbang negatifnya. Terutama pada aspek penyerapan tenaga kerja yang hingga kini menjadi latar belakang utama mengapa putra putri asli daerah yang pintar selalu pergi ke kota-kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bertahan di Wonogiri dianggap tidak memberikan harapan karena tidak banyak yang bisa dikerjakan. Kawasan industri itu diharapkan menjadi pemantik kegairahan investasi sehingga di masa mendatang akan kian banyak investor yang tertarik menanamkan modal di sana.

Jadi, tidak mengherankan kalau Bupati Begug Poernomosidi bersikap agak kaku. Ia menolak permohonan beberapa LSM untuk berdialog mengenai kerja sama Pemkab dengan Pemerintah Provisi Guangxi tersebut. Alasannya, kerja sama itu telah berjalan lancar sampai pada tahap sangat menentukan. Kerja sama itu juga merupakan upaya Pemkab untuk mengentaskan warga miskin dan penganggur yang menjadi persoalan mendasar di daerah pimpinannya. Selain itu, bupati berharap semua komponen masyarakat di Kabupaten Wonogiri memberikan dukungan positif agar kerja sama itu bisa terwujud dan berjalan baik.

Kekhawatiran beberapa LSM sebenarnya juga dimaklumi karena kawasan industri itu memanfaatkan sekitar 300 hektare dari luas keseluruhan Alas Kethu 783,50 hektare dan 49,9 hektare di antaranya masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Dari luas 300 hektare itu 100 hektare untuk sarana dan prasarana. Tentu,
sebuah pembangunan akan menimbulkan berbagai dampak. Itu semestinya sudah diantisipasi melalui berbagai aturan dan prosedur, terutama analisis mengenai dampak lingkungan. Lepas dari itu semua sebaiknya Bupati Wonogiri mau mendengarkan suara-suara kontra untuk dijadikan masukan berharga.

Perbankan dan Fungsi Edukasi Masyarakat

Harus diakui, interaksi antara perbankan dan masyarakat belumlah seintensif yang diharapkan. Masih banyak yang hanya tahu bahwa bank adalah tempat untuk menabung dan atau berutang. Padahal kini perbankan telah berkembang sedemikian pesat. Bank bisa dioptimalkan fungsinya untuk berbagai keperluan.
Di samping menabung dan mendapat kredit, bank bisa dimanfaatkan untuk melunasi tagihan, misalnya rekening listrik, air, dan telepon. Bahkan bisa dijadikan sarana investasi karena banyak bank yang melayani instrumen reksadana dan obligasi negara. Bisa pula untuk merencanakan keuangan di masa depan, antara lain melalui tabungan pendidikan dan tabungan pensiun.
Perbankan seolah-olah asyik sendiri dan agak mengabaikan salah satu fungsinya, yaitu memberikan edukasi atau pembelajaran kepada masyarakat. Padahal pemahaman masyarakat yang kurang memadai mengenai bank akan menghambat pemanfaatan institusi tersebut dalam meningkatkan kualitas hidup.
Hasil baseline survey tingkat literasi dan pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan dan perbankan tahun 2006 menyimpulkan edukasi sangat diperlukan. Untuk itulah Bank Indonesia (BI), bank-bank, dan asosiasi perbankan menetapkan tahun 2008 sebagai Tahun Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan.
Lewat slogan ''Ayo ke Bank'' dan ''Bank Sahabat Konsumen'' mereka berniat lebih mendekatkan diri kepada masyarakat luas.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan Januari 2004 ada program utama dalam peningkatan perlindungan dan pemberdayaan nasabah.
Yakni, (1) penyusunan mekanisme pengaduan nasabah bank; (2) pembentukan lembaga mediasi independen; (3) penyusunan standar transparansi informasi produk perbankan; dan (4) edukasi nasabah.
Penyusunan mekanisme pengaduan nasabah serta pembentukan lembaga mediasi independen bertujuan mengatasi persoalan yang terjadi antara nasabah dan bank.
Hampir setiap hari pada rubrik surat pembaca media cetak kita temukan keluhan, komplain, atau protes nasabah terhadap suatu bank. Ada masalah pelunasan tagihan kartu kredit, pelayanan kurang memuaskan, penagihan dengan cara-cara kurang beretika, dan sebagainya.
Komplain, keluhan, dan protes tersebut menunjukkan ada kesenjangan antara bank dan nasabah atau masyarakat. Untuk itulah standar transparansi informasi produk perbankan amat strategis sebagai titik awal mencegah kemungkinan timbul masalah antara nasabah dan bank.
Ditambah program edukasi kepada masyarakat secara intensif, diharapkan terbentuk relasi dan interaksi yang baik antara kedua pihak.
Edukasi atau pembelajaran pada intinya berupa pemberian informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan aktivitas perbankan beserta produk dan jasa yang ditawarkan. Dari situ diharapkan masyarakat memperoleh bekal informasi yang cukup sebelum berinteraksi dengan bank sehingga tidak terjadi kesenjangan yang akan menimbulkan persoalan.
Program edukasi juga diperlukan untuk mendorong kesetaraan hak dan kewajiban nasabah sebagai konsumen dengan bank sebagai pelaku usaha yang menyediakan produk dan jasa.
Dalam cetak biru yang disusun oleh Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Keuangan disebutkan visi program edukasi adalah mewujudkan masyarakat yang mempunyai pengetahuan dan informasi memadai, percaya diri, serta memahami fungsi, peran, manfaat, dan risiko produk serta jasa bank sehingga mampu mengelola keuangan secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Minat atau bank minded & awareness perlu dibangun untuk mendorong masyarakat agar menggali informasi mengenai manfaat, jenis, fungsi, dan peran bank. Minat dan partisipasi mereka diharapkan memicu pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang lebih luas di seluruh lapisan masyarakat.
Pemahaman tentang produk dan jasa bank serta kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai nasabah penting ditingkatkan supaya mengerti benar produk dan jasa perbankan serta hak dan kewajibannya. Dengan demikian masyarakat bisa memilih produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga kemungkinan timbul masalah bisa ditekan.

Manfaat dan Risiko
Masyarakat juga diminta meningkatkan sikap berhati-hati dalam transaksi keuangan sebagai tindak lanjut atas sikap kritis dalam memanfaatkan produk dan jasa perbankan. Nasabah diharapkan mengerti benar risiko yang terkandung dalam produk dan jasa tersebut, di samping manfaat yang diperoleh.
Lewat kesadaran dan pemahaman terhadap manfaat dan risiko itu, nasabah bisa menetapkan pilihannya secara bijaksana.
Sarana dan mekanisme pengaduan serta penyelesaian sengketa penting diketahui untuk menciptakan kesetaraan hubungan antara bank dan masyarakat selaku nasabah. Sarana dan cara atau mekanisme yang telah disediakan perlu dimanfaatkan untuk menghindari konflik yang merugikan baik dari segi waktu, biaya, maupun reputasi.
Biasanya kantor cabang bank punya customer service yang bertugas melayani nasabah atau calon nasabah. Di samping itu, brosur tentang produk dan jasa suatu bank gampang kita temukan pada kantor cabang, kantor kas, dan gerai-gerai bank bersangkutan.
Persoalannya adalah edukasi lewat sarana itu bersifat pasif. Masyarakat harus proaktif menghubungi bank untuk meminta penjelasan atau menyampaikan keluhan.
Sebagian bank juga menyediakan call center atau nomor telepon bebas biaya yang bisa dihubungi setiap saat. Namun fungsi edukasinya belum optimal sehingga kesenjangan antara perbankan dan masyarakat kian melebar.
Untuk itulah perlu dibentuk tim edukasi dari tingkat provinsi hingga kecamatan yang melibatkan BI, bank-bank, serta asosiasi perbankan. Edukasi dilakukan secara periodik, misalnya tiap dua minggu, dipadukan dengan kegiatan-kegiatan rekreatif. Bisa dengan jalan sehat yang dimeriahkan panggung hiburan.
Di samping itu, forum-forum resmi semisal seminar atau diskusi mengenai perbankan bisa dioptimalkan untuk melaksanakan fungsi edukasi.
Tim bisa mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah, kampus perguruan tinggi, instansi pemerintah, kantor-kantor perusahaan swasta, pasar-pasar, serta para petani. Acaranya disesuaikan dengan kondisi, tetapi pada prinsipnya menciptakan suasana gembira dan bersahabat sehingga proses pembelajaran berjalan baik.
Untuk menjangkau daerah-daerah pelosok atau terpencil penting diluncurkan mobile bank berupa kendaraan yang berfungsi sebagai gerai pelayanan sekaligus pusat informasi. Kendaraan tersebut bisa berupa mobil, sepeda motor, atau perahu, bergantung pada medan dan transportasinya.
Layanan yang bersifat mobile itu sangat luwes. Petugasnya bisa memberikan edukasi kepada masyarakat di pedesaan atau wilayah pelosok dengan bahasa yang gampang mereka terima. Untuk menekan beban biaya, bank-bank bisa bergabung.
Situs masing-masing bank juga perlu ditangani dan dikelola sebaik-baiknya. Antara selalu diperbarui dengan tampilan dan isi yang dapat didayagunakan oleh pengaksesnya. Lewat internet masyarakat bisa ''belajar'' secara mandiri mengenai produk dan jasa yang ditawarkan suatu bank.
Warnet-warnet kini telah menyentuh kehidupan masyarakat di kota-kota kecamatan. Jadi pemanfaatan internet sangat strategis, karena menjangkau semua orang tanpa berbagai batasan. Meski penggunanya sekarang masih sedikit, diperkirakan satu dua tahun lagi akan terjadi booming internet.
Ponsel yang sekarang bukan lagi merupakan barang mewah dapat dijadikan sarana mengedukasi masyarakat. Melalui pendayagunaan short message service (SMS) atau pesan singkat bank seolah-olah berada di tangan setiap pemegang ponsel.
Lewat SMS masyarakat bisa menanyakan seluk-beluk sebuah bank secara detail. Bank-bank tinggal menyediakan petugas khusus beserta perangkatnya untuk melayani mereka. Interaksi itu melalui ponsel merupakan pijakan awal menuju e-banking.
E-banking atau m (mobile)-banking merupakan gaya hidup masyarakat modern yang efisien dan efektif. Banyak yang bisa dihemat, misalnya, untuk mentransfer uang dan mengecek saldo tidak perlu datang ke bank, tetapi cukup menggunakan internet atau ponsel.
Namun masyarakat perlu diingatkan agar hati-hati dan waspada karena ada ancaman berupa kejahatan dunia maya. Mereka harus selalu diingatkan bagaimana melakukan transaksi yang aman untuk menghindari risiko menjadi korban penipuan dan kejahatan lainnya.

Sisi Lain Perilaku Konsumtif saat Ramadan

Sudah biasa pada saat Ramadan terjadi peningkatan pembelian, terutama barang-barang kebutuhan pokok. Sebagian besar warga yang memeluk agama Islam ingin memuliakan bulan puasa yang datang setahun sekali. Antara lain melalui hidangan buka puasa dan sahur yang lebih istimewa dibandingkan dengan hari-hari biasa. Ada aneka makanan kecil dan minuman pembuka di samping menu utama berupa nasi, lauk, dan sayur. Jika menu pada hari-hari di luar bulan Puasa cenderung seadanya baik karena kesibukan maupun budget, di bulan suci penuh rahmat berubah menjadi lebih baik dan terencana.

Rasanya tak ada yang salah sepanjang masih dalam batas kewajaran atau tidak berlebih-lebihan. Persoalannya adalah setiap Ramadan yang diakhiri dengan Lebaran muncul fenomena yang disebut inflasi musiman. Pada saat-saat itu terjadi lonjakan permintaan kebutuhan pokok. Pemerintah dipaksa menjamin ketersediaan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat tersebut karena jika tidak, berpotensi menimbulkan gejolak, terutama akibat kenaikan harga-harga yang tidak terkendali. Fenomena demikian sudah lama terjadi sehingga pemerintah tahu benar bagaimana mengantisipasi segala kemungkinan.

Penting diwaspadai jika pola konsumsi atau perilaku konsumtif sudah mengarah pada tingkat berlebihan. Di samping tidak selaras dengan nilai-nilai yang hendak ditanamkan melalui ibadah puasa itu sendiri, akan berbahaya bagi kondisi perekonomian. Puasa antara lain justru ingin menumbuhkan toleransi kepada kaum dhuafa yang seringkali hanya makan seadanya sekali atau dua kali sehari. Bukan berlomba-lomba memuaskan nafsu konsumsi, khususnya terhadap makanan. Bukan hanya dari segi agama berlebih-lebihan itu tidak baik. Dari segi kesehatan pun demikian, bahkan bisa mengundang berbagai penyakit.

Lonjakan permintaan terhadap berbagai jenis barang kebutuhan pokok kalau tidak diimbangi dengan peningkatan penawaran akan memicu kenaikan harga. Kenaikan harga secara umum dalam istilah ekonomi disebut inflasi yang secara teoretis bisa sebagai penggerak atau justru perusak perekonomian. Jika inflasi dalam setahun di bawah 10%, masih dalam batas aman dan dipercaya sebagai motor penggerak ekonomi. Sebab, kenaikan harga pada tingkat yang rendah merupakan pertanda peningkatan aktivitas ekonomi yang berarti roda ekonomi menuju kemajuan. Sebaliknya, inflasi di atas 10% bisa merusak atau menghambat.

Dalam batas-batas terkendali, peningkatan konsumsi tersebut juga berdampak positif terhadap usaha kecil menengah, khususnya yang memproduksi makanan dan minuman. Industri rumahan roti dan kue, perajin manisan, serta pedagang minuman dan makanan kecil hanyalah sekian dari banyak contoh pelaku usaha skala kecil yang menangguk berkah Ramadan. Omzet mereka dipastikan naik berlipat-lipat, bahkan ada yang di atas 100% jika dibandingkan dengan bulan-bulan di luar Ramadan. Dengan keuntungan besar tersebut mereka diharapkan bisa mengumpulkan modal cukup banyak untuk meningkatkan usahanya.

Dampak positif bagi usaha kecil menengah tersebut merupakan sisi lain dari budaya konsumtif pada bulan Puasa yang dicemaskan oleh berbagai pihak. Sepanjang tidak berlebihan atau wajar-wajar saja, hal tersebut masih bisa ditoleransi. Persoalannya adalah perilaku dan budaya konsumtif itu seolah-olah terus dipacu dan dirangsang oleh promosi serta iklan-iklan yang seringkali berkesan amat vulgar. Dalam kepungan iming-iming produsen orang cenderung gampang bertindak tidak terencana, tidak bijak, dan tidak rasional. Membeli bukan karena kebutuhan, tetapi terjebak bujuk rayu produsen yang menghanyutkan.

Senin, 04 Agustus 2008

Antisipasi dan Minimalisasi Dampak Kekeringan

Agustus diperkirakan akan menjadi puncak musim kemarau. Data Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan curah hujan menurun drastis. Pada bulan Juni lalu angka perkiraannya masih berkisar 50-200 mm per bulan, tetapi Agustus tinggal 0-50 mm per bulan. Puncak musim kemarau antara lain ditandai oleh suhu udara tinggi serta kesulitan memperoleh air. Tanda-tanda itu sejak Juli sudah terasa. Di berbagai daerah mulai ada pengedropan air ke wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan akibat debit sumber-sumber air yang selama ini diandalkan warga jauh menyusut, bahkan kerontang.

Hingga Juli dilaporkan 24 dari 35 kabupaten dan kota atau dua per tiga wilayah di Jateng kekeringan. Memasuki Agustus diperkirakan terus meluas. Padahal kemungkinan kemarau akan berlangsung sampai November atau awal Desember. Berarti berbagai penderitaan akibat kekeringan berjalan cukup panjang. Air akan menjadi barang berharga mahal. Apalagi sebagian besar waduk atau bendung yang dibangun sebagai penyangga untuk pemenuhan kebutuhan air kini dalam keadaan kritis. Ketinggian air atau elevasi Waduk Kedungombo per 20 Juli lalu berada di bawah normal. Demikian pula Waduk Gajahmungkur di Wonogiri.

Ada tiga dampak besar akibat kekeringan yang memerlukan perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh, yakni kelangkaan air bersih, ancaman hama dan puso pada tanaman budi daya pertanian, serta kemunculan berbagai jenis penyakit. Dampak yang pertama sejak dua bulan lalu sudah terungkap ke permukaan melalui media massa. Hampir setiap hari kita baca atau tonton bagaimana warga harus jalan kaki berkilo-kilometer hanya untuk memperoleh dua ember air. Ada yang membuat sumur di sungai-sungai yang telah mengering. Tak sedikit pula yang terpaksa memanfaatkan air kubangan yang sebenarnya tidak layak.

Dampak kedua juga sudah mulai muncul akhir-akhir ini. Udara panas dan agak lembap merupakan lingkungan kondusif bagi beberapa jenis hama untuk berkembang dan beraksi. Di berbagai daerah, wereng dan tikus telah menyerang areal tanaman pangan walaupun belum terlalu luas. Jika tidak ada upaya pencegahan, bukan tidak mungkin pada puncak kemarau akan terjadi ledakan hama yang merugikan tersebut. Tak kalah seriusnya adalah ancaman puso akibat kekurangan air. Sampai pertengahan Juli tanaman padi yang kekeringan dilaporkan terjadi di 28 kabupaten dan kota. Luasnya mencapai 14.527 hektare dan 2.961,5 puso.

Penyakit yang berhubungan erat dengan musim kering dan kekurangan air bersih telah mengintip. Di Purbalingga empat orang meninggal dunia akibat diare. Muntaber, kolera, disentri, dan sejenisnya diperkirakan akan merebak jika prinsip hidup bersih dan sehat terabaikan gara-gara air bersih langka. Belum lagi ancaman demam berdarah dengue atau malaria yang cukup menggiriskan karena kalau tak tertangani akan berakibat sangat fatal. Kesalahan kita adalah seringkali tidak melakukan antisipasi sejak dini dan baru terkaget-kaget setelah penyakit-penyakit tersebut mewabah dan menelan korban dalam jumlah besar.

Untuk itulah sejak sekarang butuh pengelolaan atas dampak kekeringan itu melalui prinsip antisipasi dan minimalisasi. Pada kasus kelangkaan air ada baiknya digalakkan budaya hemat air. Gunakan seperlunya dan tidak membuang-buang air untuk hal-hal tak perlu. Misalnya menyiram tanaman cukup dengan air bekas mencuci. Dalam menghindari ancaman hama dan puso, petani perlu diingatkan agar selalu memantau lahannya serta menanam tanaman yang tak membutuhkan banyak air, contohnya palawija. Kemerebakan penyakit di musim kemarau bisa diatasi dengan menerapkan budaya hidup bersih dan sehat.

Kekeringan Terus Berulang dan Kian Parah

Musim kemarau baru memasuki bulan-bulan awal tetapi kekeringan telah melanda hampir seluruh daerah di Jateng. Kisah orang harus menempuh jarak beberapa kilometer untuk memperoleh satu dua ember air barangkali telah menjadi sesuatu yang biasa. Media massa selalu menayangkan, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sesuatu yang terus dipampangkan di depan kita secara berulang-ulang akan membuat rasa jadi kebal. Itulah yang terjadi pada kasus-kasus kekeringan pada saat ini. Solusinya pun bersifat instan, yakni pengedropan bantuan air bersih ke daerah-daerah yang mengalami kekeringan. Kegiatan itu telah menjadi rutinitas.

Hingga kini belum tampak ada upaya serius dan komprehensif dalam mengantisipasi kekeringan yang terjadi tiap musim kemarau. Kita maklum bahwa musim adalah persoalan alam yang sulit dilawan. Kata dilawan sebenarnya kurang tepat, karena yang bisa dilakukan adalah menyelaraskan atau menyesuaikan. Alam selalu mencari titik keseimbangan. Jika keseimbangan itu terganggu, akan muncul gejala-gejala alamiah yang oleh manusia dianggap sebagai bencana, misalnya banjir dan kekeringan. Musim dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, angin, dan luasan hutan. Jika salah satu terganggu atau berubah, musim pun akan terpengaruh.

Pengaruh iklim secara global menyebabkan musim kemarau dan penghujan di negeri tidak berjalan secara teratur. Seringkali kemarau berlangsung lebih panjang dan kering sehingga berdampak terhadap persediaan air. Padahal air merupakan salah satu kebutuhan vital manusia. Di samping untuk kebutuhan sehari-hari semisal minum dan memasak, air diperlukan dalam budi daya pertanian. Sudah sejak lama ada upaya menampung air dalam bentuk waduk atau bendungan. Namun bangunan teknis yang diharapkan saat kemarau masih bisa memasok air tersebut kini juga banyak yang kering walaupun hujan baru beberapa bulan berhenti.

Di wilayah pantai utara Jateng, misalnya, dua waduk besar, yakni Cacaban di Tegal dan Malahayu di Brebes saat ini volume airnya dalam keadaan kritis sehingga Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Pemali-Comal mulai mengurangi pengeluaran air sebagai langkah penghematan. Elevasi atau tinggi permukaan air Waduk Cacaban kini 72,89 m dengan volume 23,79 juta m3, padahal normalnya 74,42 m dan 31,20 juta m3. Demikiann pula Waduk Malahayu, elevasinya saat ini 53,18 m dan volume 21,08 m3, padahal agar berfungsi normal sebagai pemasok air saluran irigasi pertanian semestinya elevasi 55,87 m dan volume 37,88 juta m3.

Keadaan serupa juga terjadi pada waduk-waduk besar lain di provinsi ini, contohnya Gajahmungkur di Wonogiri dan Kedungombo di Boyolali, serta bendung-bendung kecil yang tersebar di berbagai daerah. Penyebab waduk dan bendung tersebut kritis antara lain pendangkalan akibat erosi serta penyusutan pasokan air dari sungai dan sumber-sumber air. Semua itu bermuara pada pemeliharaan kawasan hutan yang kurang optimal baik karena penebangan liar maupun alih fungsi secara sengaja menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian, industri, dan sebagainya. Sangat disayangkan alih fungsi hutan itu justru cenderung makin intensif.

Agar kekeringan parah tidak selalu berulang tiap kemarau datang, kita butuh pendekatan yang lebih tepat sasaran. Bantuan air bersih kurang produktif dan malah bisa bisa membuat manja. Sejak sekarang harus ada komitmen menjaga hutan, kawasan yang berfungsi sebagai peresapan air, serta mata-mata air. Penghijauan penting dijadikan sebagai budaya, bukan hanya formalitas. Masyarakat sendirilah yang wajib menjaga hutan serta sumber-sumber air supaya tidak gampang dialihfungsikan menjadi perumahan, jalan, atau pabrik. Tiap keluarga juga dipandang perlu menerapkan prinsip peresapan air, antara lain lewat biopori dan tandon atau embung.

Saat Emosi Para Orang Tua Terkuras

Juni dan Juli merupakan bulan yang menguras emosi para orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Setelah menanti pengumuman ujian nasional yang dipenuhi perasaan tak pasti serta kekhawatiran, selanjutnya dihadapkan pada perjuangan mencari sekolah terbaik bagi anaknya. Lulusan SD ke SMP, tamatan SMP ke SMA atau SMK, dan yang telah lepas dari SMA sederajat ke perguruan tinggi. Kecemasan dan tekanan perasaan seperti mata rantai yang sambung menyambung. Orang tua dipaksa memiliki daya tahan fisik dan mental yang cukup baik supaya tidak gampang sakit dan stres menghadapi situasi demikian.

Sekarang memang sangat berbeda dari dua atau tiga dasa warsa yang lalu. Untuk masuk SMP yang berkualitas standar sudah membutuhkan strategi dan kerja keras, apalagi yang tergolong unggulan dan tentu saja jumlahnya amat tidak sebanding dengan para peminat. Seleksi biasanya menggunakan hasil ujian nasional ditambah tes-tes khusus yang diselenggarakan masing-masing sekolah. Begitu seleksi tuntas dan sudah ada kepastian diterima atau tidak pada sekolah yang dituju, muncul persoalan baru. Bagi yang tidak lolos mau tidak mau harus mencari sekolah lain yang dari segi kualitas agak di bawah standar.

Selesai? Belum! Setelah diterima di sekolah atau perguruan tinggi orang tua dihadapkan pada berbagai tarikan biaya. Mulai uang seragam, uang buku, sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) atau sumbangan pengembangan institusi (SPI), hingga uang gedung. Bagi masyarakat yang termasuk kelompok mampu, tidak perlu pusing. Sebaliknya, bagi mereka yang masuk kategori pas-pasan atau bahkan miskin, tekanan itu belum mereda. Harus pontang-panting mencari pinjaman ke sana ke mari untuk memenuhi kebutuhan anaknya supaya bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang dianggap baik.

Uang seragam, buku, dan SPP mungkin masih terjangkau oleh sebagian masyarakat. Namun sumbangan untuk berbagai kegiatan serta uang gedung bernilai cukup besar karena bisa jutaan rupiah. Antara sekolah swasta dan negeri selisihnya tidak terlampau jauh. Bahkan pada sekolah negeri unggulan atau berstandar internasional nyaris sama dengan sekolah swasta berkualitas baik. Penarikan sumbangan tersebut bisa dipahami karena sekolah butuh sarana untuk mengembangkan diri, padahal subsidi dari pemerintah tidak mencukupi. Beban tersebut perlu dibagi dengan masyarakat selaku salah satu stakeholder pendidikan.

Namun kebijakan mengenai sumbangan dari orang tua murid perlu dipertimbangkan secara arif sebelum diputuskan. Situasi dan kondisi pada saat ini bisa dikatakan kurang baik, terutama akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Mei lalu. Kenaikan harga BBM itu berdampak besar terhadap seluruh lini kehidupan. Harga barang-barang lain dan jasa ikut melonjak, sedangkan pendapatan masyarakat tetap atau justru berkurang akibat ditelan inflasi. Di sinilah dibutuhkan suatu kebijakan yang bijak. Artinya, tidak menambah beban masyarakat yang sudah berat dan tak tertahankan.

Prinsip transparansi perlu dikedepankan. Rencana penarikan sumbangan dari murid baru harus disertai perincian penggunaannya, kemudian dikomunikasikan dengan komite sekolah dan orang tua wali murid. Tidak boleh bersifat memaksa, apalagi dikaitkan dengan diterima atau tidak murid bersangkutan. Model subsidi silang baik diterapkan, yakni yang tidak mampu diberi semacam diskon dan ditutup dari yang termasuk mampu. Soal sumbangan butuh pengaturan yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan. Ada pemikiran masalah itu diberi payung hukum berupa peraturan bupati atau wali kota.

Menggugah Kepedulian Kita pada Museum

Pada benak sebagian besar di antara kita museum hampir selalu diidentikkan dengan hal-hal kuno, sehingga tidak layak memperoleh perhatian khusus. Kita lebih senang mengejar hal-hal yang bersifat baru, sehingga tidak mengherankan jika banyak museum merana, tak terawat, dan terabaikan. Padahal sebenarnya museum mempunyai banyak dimensi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia meskipun tidak secara langsung. Masa lalu berupa sejarah dan barang-barang peninggalan bisa menjadi cermin dan sarana belajar supaya kehidupan masa depan menjadi lebih baik. Di samping itu, museum dalam arti luas mampu memberikan pencerahan, bahkan inspirasi bagi kita yang hidup di masa kekinian.

Di tengah sikap abai dan kurang perhatian itu muncul kasus pencurian dan pemalsuan di Museum Radya Pustaka Solo. Lima arca koleksinya diduga telah ditukar dengan barang palsu. Petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng curiga saat menginventarisasi aset museum pada akhir September lalu. Bukan hanya itu, lampu gantung yang terbuat dari perunggu diduga tidak asli lagi. Sekitar tahun 2000 museum yang didirikan tahun 1890 dan dikelola Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta itu telah kehilangan patung yang diletakkan di luar. Ada kemungkinan kehilangan dan pemalsuan tersebut terus bertambah jumlahnya kalau ditelusuri lagi lebih cermat karena koleksinya cukup banyak.

Kasus pencurian dan pemalsuan koleksi Museum Radya Pustaka kini telah berada di tangan polisi. Kita berharap segera terkuak dan para tersangkanya diadili. Terlepas dari itu yang lebih penting adalah menempatkan kasus tersebut sebagai pemicu untuk menggugah kembali kesadaran untuk peduli terhadap museum. Barangkali jika pencurian dan pemalsuan itu tidak diungkapkan dan kemudian menjadi berita yang cukup menghebohkan di media massa, perhatian kita tidak akan terusik. Sebab, dengan agak sinis bisa dikatakan museum beserta segala perniknya tidak mempunyai manfaat langsung di tengah-tengah masyarakat yang masih disibukkan oleh urusan perut akibat perekonomian belum juga membaik.

Kali pertama yang perlu dilakukan adalah membenahi pengelolaannya, khususnya menyangkut keamanan dan perawatan. Ada museum yang ditangani pemerintah dan ada pula yang berada di bawah naungan yayasan. Kita sudah sering mendengar bahwa dana pengelolaan baik yang berada di bawah pemerintah maupun yayasan tergolong kecil. Mengharapkan pendapatan dari karcis masuk sebagai objek pariwisata pun tidak mungkin. Apalagi untuk menggaji karyawan yang besarannya tidak terlampau istimewa, untuk membayar rekening listrik saja banyak museum yang kepontal-pontal. Tidak sedikit yang terpaksa menerapkan jurus gali lubang tutup lubang, atau menebalkan muka sebagai penunggak.

Dalam situasi dan kondisi yang serba memprihatinkan itu sebenarnya kita tidak perlu terkejut kalau terjadi kasus pencurian dan pemalsuan barang-barang koleksi museum. Pengamanan yang kurang optimal menyebabkan para pelaku kriminal yang mengincar harta berharga tidak terlalu sulit membobol. Iming-iming uang dalam jumlah besar juga menjadi godaan berat yang gampang membuat pikiran ''orang dalam'' tergiur. Di negara-negara lain museum ditempatkan pada posisi bergengsi, sehingga amat dihargai. Di samping memperoleh dana dari pemerintah atau pendonor tetap, rata-rata dikelola secara profesional dan dijadikan objek wisata yang mampu mendatangkan pemasukan cukup tinggi.

Belum terlambat untuk menggugah semua pihak agar peduli pada museum-museum yang menyimpan harta tak ternilai harganya. Jangan sampai kita baru berteriak-teriak ketika isinya sudah pindah ke mancanegara atau lenyap tak berbekas akibat ulah para pelaku kriminal. Paling tidak masyarakat bisa menghargai bahwa wahana tersebut merupakan sarana untuk belajar dan bercermin dalam upaya mengejar kemajuan. Pemerintah, yayasan, dan lembaga-lembaga yang berkepentingan diharapkan makin meningkatkan peranannya dalam pengelolaan museum. Mencontoh negara-negara lain, sebenarnya jika dikelola secara sungguh-sungguh, museum-museum itu bisa menghidupi diri sendiri.

Saatnya Pedesaan Ditangani Serius

Pada awal-awal masa pemerintahannya Presiden pernah mengungkapkan hendak memberikan perhatian pada bidang pertanian dan pembangunan pedesaan. Perhatian itu tidaklah berlebihan jika mengingat basis negara kita adalah pertanian dan sebagian besar penduduk tinggal di wilayah pedesaan. Bahkan sudah semestinya kedua hal tersebut memperoleh perhatian khusus. Bukan sekadar dijadikan sebagai bahan slogan atau tema diskusi dan seminar di hotel-hotel berbintang. Sudah berulang-ulang diingatkan agar wilayah pedesaan diberi perhatian secara proporsional, namun hingga sekarang realisasinya cenderung bersifat parsial, sepotong-sepotong, bahkan hanya lips service.

Hingga kini pedesaan yang juga identik dengan pertanian masih dipandang sebelah mata. Kawasan itu masih dianggap sebagai gambaran keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Celakanya, citra yang sekian lama telanjur melekat itu tidak membuat para penentu kebijakan tergerak untuk mengubah lewat terobosan-terobosan penting, melainkan cenderung ditinggalkan. Akibatnya, sebagian besar desa tetap terbelakang dan miskin, sehingga para generasi mudanya berbondong-bondong ke kota memburu lapangan pekerjaan atau menyeberang ke negara-negara lain menjadi TKI. Desa dianggap tidak mampu menerbitkan secercah harapan, apalagi masa depan yang cerah.

Kalau mau berterus terang, potensi wilayah pedesaan belum dikembangkan secara optimal sehingga pergerakan ekonominya berjalan lamban. Sumber daya alam dan manusia berlimpah, tetapi ibarat intan belum digosok secara benar dan serius sehingga belum mampu menimbulkan dampak yang cukup berarti. Pertanian dalam arti luas, industri kecil dan rumahan, pertambangan, bahkan jasa berpeluang tumbuh dan berkembang kalau ditangani dengan penuh kesungguhan. Persoalannya adalah kebijakan kurang berpihak pada wilayah pedesaan, atau kalaupun ada kebijakan itu bersifat setengah hati. Selama ini perhatian kita lebih banyak tertuju ke perkotaan dan mengabaikan pedesaan.

Program-program pembangunan wilayah pedesaan sekarang makin lemah jika dibandingkan dengan dua atau tiga dasawarsa yang lalu. Penyediaan infrastruktur juga kurang. Contohnya jaringan irigasi atau pengairan yang rata-rata memprihatinkan sehingga budi daya pertanian tidak berlangsung optimal. Airnya ada, tetapi kalau jaringan irigasinya nihil tidak akan sampai ke tanaman yang membutuhkan. Pengembangan industri kecil dan rumahan pun tidak dilakukan sebagai program yang menyeluruh dan berkelanjutan. Jadi, tidak mengherankan kalau masyarakat pedesaan mencari kehidupan yang lebih menjanjikan ke perkotaan. Urbanisasi pun tak lagi bisa terelakkan.

Lebaran yang baru saja berlalu seolah kembali mengingatkan kita pada pedesaan lewat tradisi mudik ke kampung halaman yang dilakukan oleh para perantau di kota-kota besar. Tidak semua perantau menggapai kesuksesan. Banyak yang termasuk kelompok marginal. Berpijak dari kenyataan itu tidak berlebihan jika kita mulai bergerak mengembangkan pedesaan beserta segala potensinya. Sebab, urbanisasi yang terus berlanjut pada akhirnya akan menimbulkan masalah sosial yang amat kompleks. Sebelum telanjur ruwet dan susah diurai ada baiknya kawasan pedesaan ditangani untuk mencegah kecenderungan makin lama kian kehilangan sumber daya manusia.

Sekarang kita hendak menagih pernyataan Presiden yang akan memberikan perhatian terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian. Kali pertama adalah menyediakan infrastruktur yang memadai agar roda ekonomi berjalan sebagaimana yang diharapkan. Jalan, listrik, telepon, dan jaringan irigasi adalah beberapa di antara sarana yang sangat diharapkan. Pemerintah cukup memberikan stimulans, kemudian masyarakat sendiri yang akan melanjutkan secara swadaya. Dari situ kita berharap akan tumbuh dan berkembang pertanian berbasis industri atau agroindustri dan agrobisnis, industri-industri kecil, serta jasa di pedesaan. Dengan demikian desa bukan lagi cermin keterbelakangan.

Sebuah Pelajaran yang Berharga

Untuk kali kedua mantan wali kota Surakarta Slamet Suryanto kesandung masalah hukum. Belum lagi tuntas kasus dugaan korupsi perubahan APBD 2004, kini ia resmi menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan buku pelajaran. Berdasarkan hasil penyidikan yang bersangkutan berperan aktif menyetujui prpyek itu pada tahun 2003 yang diduga menyimpang dan menyebabkan kerugian negara Rp 3,7 miliar. Kasus itu juga telah menyeret beberapa pejabat dan mantan pejabat. Antara lain mantan sekda; mantan kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga; kepala dinas yang masih aktif, serta pemimpin proyek.

Berita tersebut mungkin menjadi teramat biasa karena masyarakat sudah sering membaca atau menyimak kasus-kasus serupa. Contohnya beberapa anggota DPRD Banyumas terpaksa masuk penjara karena terbukti mengorupsi APBD. Ada pula bupati yang harus menjadi pesakitan karena menyelewengkan anggaran untuk kepentingan pribadi. Korupsi bagai lingkaran setan tak berujung. Korban-korbannya berjatuhan tak henti-henti. Otonomi daerah yang memberi kewenangan begitu besar kepada para kepala daerah sering menjadi kambing hitam. Ada yang bilang sekarang korupsi pindah dari pusat ke daerah.

Pertanyaannya adalah kenapa para pejabat di daerah baik eksekutif maupun legislatif tak mau belajar dari kasus yang menimpa rekan-rekan mereka. Setelah kasus korupsi di suatu daerah mencuat, tidak lama kemudian disusul daerah lainnya. Begitu seterusnya. Mereka seperti tak kapok untuk mencoba mengakali keuangan daerah untuk menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya. Bahkan banyak yang merasa tidak pernah melakukan korupsi. Dalam bahasa mereka yang terjadi hanya kesalahan prosedur atau kekeliruan administrasi. Begitu gampang orang-orang itu berkilah setelah makan anggaran yang menjadi hak rakyat.

Kita menginginkan ke depan tak lagi ada kepala daerah, para pejabat, serta wakil rakyat yang terhormat menjadi pesakitan akibat keteledoran mereka. Sudah cukup kasus-kasus sebelumnya sebagai pelajaran sangat berharga. Tak ada gunanya mengulang kebodohan yang akan menurunkan citra, harga diri, dan kehormatan. Menjadi pemimpin atau pejabat merupakan amanah. Memimpin adalah melayani, bukan mengakali rakyat. Jika mengkhianati rakyat yang telah menyerahkan kepercayaannya, tentu ada risiko-risiko yang mesti ditanggung. Paling tidak rasa hormat akan meluntur, bahkan bisa menjadi sebuah kebencian.

Seharusnya ada efek jera setelah melihat betapa menyedihkan para pejabat yang tersandung perkara pidana, khususnya korupsi. Dulu mungkin begitu disanjung dan disegani oleh masyarakat dan bawahannya. Setelah menjalani hidup di bui dan kembali menjadi orang biasa keadaan sudah lain. Barangkali mereka yang pernah dekat akan menjauh. Itu suatu siksaan psikologis tersendiri yang terasa amat pedih. Namun ada pula yang seperti kebal atau malah bebal. Orang-orang seperti itu tak pernah merasa bersalah, apalagi berupaya memperbaiki diri. Bagi mereka, uang adalah segalanya, termasuk untuk membeli kehormatan.

Kini muncul wacana hukuman mati bagi koruptor di samping hukuman sosial berupa pengucilan dari pergaulan. Semestinya itu menjadi peringatan dini bagi mereka yang punya niat untuk melakukan tindak pidana korupsi ketika menduduki posisi strategis, jabatan tertentu, atau pemimpin. Euforia menjadi raja-raja kecil di daerah sudah saatnya diakhiri. Kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar memang cenderung korup. Rakyat dan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai kontrol harus menjalankan perannya. Jangan lagi ada orang-orang terhormat terpeleset karena menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan pribadi.