Senin, 04 Agustus 2008

Kekeringan Terus Berulang dan Kian Parah

Musim kemarau baru memasuki bulan-bulan awal tetapi kekeringan telah melanda hampir seluruh daerah di Jateng. Kisah orang harus menempuh jarak beberapa kilometer untuk memperoleh satu dua ember air barangkali telah menjadi sesuatu yang biasa. Media massa selalu menayangkan, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sesuatu yang terus dipampangkan di depan kita secara berulang-ulang akan membuat rasa jadi kebal. Itulah yang terjadi pada kasus-kasus kekeringan pada saat ini. Solusinya pun bersifat instan, yakni pengedropan bantuan air bersih ke daerah-daerah yang mengalami kekeringan. Kegiatan itu telah menjadi rutinitas.

Hingga kini belum tampak ada upaya serius dan komprehensif dalam mengantisipasi kekeringan yang terjadi tiap musim kemarau. Kita maklum bahwa musim adalah persoalan alam yang sulit dilawan. Kata dilawan sebenarnya kurang tepat, karena yang bisa dilakukan adalah menyelaraskan atau menyesuaikan. Alam selalu mencari titik keseimbangan. Jika keseimbangan itu terganggu, akan muncul gejala-gejala alamiah yang oleh manusia dianggap sebagai bencana, misalnya banjir dan kekeringan. Musim dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, angin, dan luasan hutan. Jika salah satu terganggu atau berubah, musim pun akan terpengaruh.

Pengaruh iklim secara global menyebabkan musim kemarau dan penghujan di negeri tidak berjalan secara teratur. Seringkali kemarau berlangsung lebih panjang dan kering sehingga berdampak terhadap persediaan air. Padahal air merupakan salah satu kebutuhan vital manusia. Di samping untuk kebutuhan sehari-hari semisal minum dan memasak, air diperlukan dalam budi daya pertanian. Sudah sejak lama ada upaya menampung air dalam bentuk waduk atau bendungan. Namun bangunan teknis yang diharapkan saat kemarau masih bisa memasok air tersebut kini juga banyak yang kering walaupun hujan baru beberapa bulan berhenti.

Di wilayah pantai utara Jateng, misalnya, dua waduk besar, yakni Cacaban di Tegal dan Malahayu di Brebes saat ini volume airnya dalam keadaan kritis sehingga Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Pemali-Comal mulai mengurangi pengeluaran air sebagai langkah penghematan. Elevasi atau tinggi permukaan air Waduk Cacaban kini 72,89 m dengan volume 23,79 juta m3, padahal normalnya 74,42 m dan 31,20 juta m3. Demikiann pula Waduk Malahayu, elevasinya saat ini 53,18 m dan volume 21,08 m3, padahal agar berfungsi normal sebagai pemasok air saluran irigasi pertanian semestinya elevasi 55,87 m dan volume 37,88 juta m3.

Keadaan serupa juga terjadi pada waduk-waduk besar lain di provinsi ini, contohnya Gajahmungkur di Wonogiri dan Kedungombo di Boyolali, serta bendung-bendung kecil yang tersebar di berbagai daerah. Penyebab waduk dan bendung tersebut kritis antara lain pendangkalan akibat erosi serta penyusutan pasokan air dari sungai dan sumber-sumber air. Semua itu bermuara pada pemeliharaan kawasan hutan yang kurang optimal baik karena penebangan liar maupun alih fungsi secara sengaja menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian, industri, dan sebagainya. Sangat disayangkan alih fungsi hutan itu justru cenderung makin intensif.

Agar kekeringan parah tidak selalu berulang tiap kemarau datang, kita butuh pendekatan yang lebih tepat sasaran. Bantuan air bersih kurang produktif dan malah bisa bisa membuat manja. Sejak sekarang harus ada komitmen menjaga hutan, kawasan yang berfungsi sebagai peresapan air, serta mata-mata air. Penghijauan penting dijadikan sebagai budaya, bukan hanya formalitas. Masyarakat sendirilah yang wajib menjaga hutan serta sumber-sumber air supaya tidak gampang dialihfungsikan menjadi perumahan, jalan, atau pabrik. Tiap keluarga juga dipandang perlu menerapkan prinsip peresapan air, antara lain lewat biopori dan tandon atau embung.

Tidak ada komentar: