Senin, 04 Agustus 2008

Sebuah Pelajaran yang Berharga

Untuk kali kedua mantan wali kota Surakarta Slamet Suryanto kesandung masalah hukum. Belum lagi tuntas kasus dugaan korupsi perubahan APBD 2004, kini ia resmi menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan buku pelajaran. Berdasarkan hasil penyidikan yang bersangkutan berperan aktif menyetujui prpyek itu pada tahun 2003 yang diduga menyimpang dan menyebabkan kerugian negara Rp 3,7 miliar. Kasus itu juga telah menyeret beberapa pejabat dan mantan pejabat. Antara lain mantan sekda; mantan kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga; kepala dinas yang masih aktif, serta pemimpin proyek.

Berita tersebut mungkin menjadi teramat biasa karena masyarakat sudah sering membaca atau menyimak kasus-kasus serupa. Contohnya beberapa anggota DPRD Banyumas terpaksa masuk penjara karena terbukti mengorupsi APBD. Ada pula bupati yang harus menjadi pesakitan karena menyelewengkan anggaran untuk kepentingan pribadi. Korupsi bagai lingkaran setan tak berujung. Korban-korbannya berjatuhan tak henti-henti. Otonomi daerah yang memberi kewenangan begitu besar kepada para kepala daerah sering menjadi kambing hitam. Ada yang bilang sekarang korupsi pindah dari pusat ke daerah.

Pertanyaannya adalah kenapa para pejabat di daerah baik eksekutif maupun legislatif tak mau belajar dari kasus yang menimpa rekan-rekan mereka. Setelah kasus korupsi di suatu daerah mencuat, tidak lama kemudian disusul daerah lainnya. Begitu seterusnya. Mereka seperti tak kapok untuk mencoba mengakali keuangan daerah untuk menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya. Bahkan banyak yang merasa tidak pernah melakukan korupsi. Dalam bahasa mereka yang terjadi hanya kesalahan prosedur atau kekeliruan administrasi. Begitu gampang orang-orang itu berkilah setelah makan anggaran yang menjadi hak rakyat.

Kita menginginkan ke depan tak lagi ada kepala daerah, para pejabat, serta wakil rakyat yang terhormat menjadi pesakitan akibat keteledoran mereka. Sudah cukup kasus-kasus sebelumnya sebagai pelajaran sangat berharga. Tak ada gunanya mengulang kebodohan yang akan menurunkan citra, harga diri, dan kehormatan. Menjadi pemimpin atau pejabat merupakan amanah. Memimpin adalah melayani, bukan mengakali rakyat. Jika mengkhianati rakyat yang telah menyerahkan kepercayaannya, tentu ada risiko-risiko yang mesti ditanggung. Paling tidak rasa hormat akan meluntur, bahkan bisa menjadi sebuah kebencian.

Seharusnya ada efek jera setelah melihat betapa menyedihkan para pejabat yang tersandung perkara pidana, khususnya korupsi. Dulu mungkin begitu disanjung dan disegani oleh masyarakat dan bawahannya. Setelah menjalani hidup di bui dan kembali menjadi orang biasa keadaan sudah lain. Barangkali mereka yang pernah dekat akan menjauh. Itu suatu siksaan psikologis tersendiri yang terasa amat pedih. Namun ada pula yang seperti kebal atau malah bebal. Orang-orang seperti itu tak pernah merasa bersalah, apalagi berupaya memperbaiki diri. Bagi mereka, uang adalah segalanya, termasuk untuk membeli kehormatan.

Kini muncul wacana hukuman mati bagi koruptor di samping hukuman sosial berupa pengucilan dari pergaulan. Semestinya itu menjadi peringatan dini bagi mereka yang punya niat untuk melakukan tindak pidana korupsi ketika menduduki posisi strategis, jabatan tertentu, atau pemimpin. Euforia menjadi raja-raja kecil di daerah sudah saatnya diakhiri. Kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar memang cenderung korup. Rakyat dan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai kontrol harus menjalankan perannya. Jangan lagi ada orang-orang terhormat terpeleset karena menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan pribadi.

Tidak ada komentar: