Senin, 04 Agustus 2008

Saat Emosi Para Orang Tua Terkuras

Juni dan Juli merupakan bulan yang menguras emosi para orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Setelah menanti pengumuman ujian nasional yang dipenuhi perasaan tak pasti serta kekhawatiran, selanjutnya dihadapkan pada perjuangan mencari sekolah terbaik bagi anaknya. Lulusan SD ke SMP, tamatan SMP ke SMA atau SMK, dan yang telah lepas dari SMA sederajat ke perguruan tinggi. Kecemasan dan tekanan perasaan seperti mata rantai yang sambung menyambung. Orang tua dipaksa memiliki daya tahan fisik dan mental yang cukup baik supaya tidak gampang sakit dan stres menghadapi situasi demikian.

Sekarang memang sangat berbeda dari dua atau tiga dasa warsa yang lalu. Untuk masuk SMP yang berkualitas standar sudah membutuhkan strategi dan kerja keras, apalagi yang tergolong unggulan dan tentu saja jumlahnya amat tidak sebanding dengan para peminat. Seleksi biasanya menggunakan hasil ujian nasional ditambah tes-tes khusus yang diselenggarakan masing-masing sekolah. Begitu seleksi tuntas dan sudah ada kepastian diterima atau tidak pada sekolah yang dituju, muncul persoalan baru. Bagi yang tidak lolos mau tidak mau harus mencari sekolah lain yang dari segi kualitas agak di bawah standar.

Selesai? Belum! Setelah diterima di sekolah atau perguruan tinggi orang tua dihadapkan pada berbagai tarikan biaya. Mulai uang seragam, uang buku, sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) atau sumbangan pengembangan institusi (SPI), hingga uang gedung. Bagi masyarakat yang termasuk kelompok mampu, tidak perlu pusing. Sebaliknya, bagi mereka yang masuk kategori pas-pasan atau bahkan miskin, tekanan itu belum mereda. Harus pontang-panting mencari pinjaman ke sana ke mari untuk memenuhi kebutuhan anaknya supaya bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang dianggap baik.

Uang seragam, buku, dan SPP mungkin masih terjangkau oleh sebagian masyarakat. Namun sumbangan untuk berbagai kegiatan serta uang gedung bernilai cukup besar karena bisa jutaan rupiah. Antara sekolah swasta dan negeri selisihnya tidak terlampau jauh. Bahkan pada sekolah negeri unggulan atau berstandar internasional nyaris sama dengan sekolah swasta berkualitas baik. Penarikan sumbangan tersebut bisa dipahami karena sekolah butuh sarana untuk mengembangkan diri, padahal subsidi dari pemerintah tidak mencukupi. Beban tersebut perlu dibagi dengan masyarakat selaku salah satu stakeholder pendidikan.

Namun kebijakan mengenai sumbangan dari orang tua murid perlu dipertimbangkan secara arif sebelum diputuskan. Situasi dan kondisi pada saat ini bisa dikatakan kurang baik, terutama akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Mei lalu. Kenaikan harga BBM itu berdampak besar terhadap seluruh lini kehidupan. Harga barang-barang lain dan jasa ikut melonjak, sedangkan pendapatan masyarakat tetap atau justru berkurang akibat ditelan inflasi. Di sinilah dibutuhkan suatu kebijakan yang bijak. Artinya, tidak menambah beban masyarakat yang sudah berat dan tak tertahankan.

Prinsip transparansi perlu dikedepankan. Rencana penarikan sumbangan dari murid baru harus disertai perincian penggunaannya, kemudian dikomunikasikan dengan komite sekolah dan orang tua wali murid. Tidak boleh bersifat memaksa, apalagi dikaitkan dengan diterima atau tidak murid bersangkutan. Model subsidi silang baik diterapkan, yakni yang tidak mampu diberi semacam diskon dan ditutup dari yang termasuk mampu. Soal sumbangan butuh pengaturan yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan. Ada pemikiran masalah itu diberi payung hukum berupa peraturan bupati atau wali kota.

Tidak ada komentar: