Senin, 04 Agustus 2008

Antisipasi dan Minimalisasi Dampak Kekeringan

Agustus diperkirakan akan menjadi puncak musim kemarau. Data Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan curah hujan menurun drastis. Pada bulan Juni lalu angka perkiraannya masih berkisar 50-200 mm per bulan, tetapi Agustus tinggal 0-50 mm per bulan. Puncak musim kemarau antara lain ditandai oleh suhu udara tinggi serta kesulitan memperoleh air. Tanda-tanda itu sejak Juli sudah terasa. Di berbagai daerah mulai ada pengedropan air ke wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan akibat debit sumber-sumber air yang selama ini diandalkan warga jauh menyusut, bahkan kerontang.

Hingga Juli dilaporkan 24 dari 35 kabupaten dan kota atau dua per tiga wilayah di Jateng kekeringan. Memasuki Agustus diperkirakan terus meluas. Padahal kemungkinan kemarau akan berlangsung sampai November atau awal Desember. Berarti berbagai penderitaan akibat kekeringan berjalan cukup panjang. Air akan menjadi barang berharga mahal. Apalagi sebagian besar waduk atau bendung yang dibangun sebagai penyangga untuk pemenuhan kebutuhan air kini dalam keadaan kritis. Ketinggian air atau elevasi Waduk Kedungombo per 20 Juli lalu berada di bawah normal. Demikian pula Waduk Gajahmungkur di Wonogiri.

Ada tiga dampak besar akibat kekeringan yang memerlukan perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh, yakni kelangkaan air bersih, ancaman hama dan puso pada tanaman budi daya pertanian, serta kemunculan berbagai jenis penyakit. Dampak yang pertama sejak dua bulan lalu sudah terungkap ke permukaan melalui media massa. Hampir setiap hari kita baca atau tonton bagaimana warga harus jalan kaki berkilo-kilometer hanya untuk memperoleh dua ember air. Ada yang membuat sumur di sungai-sungai yang telah mengering. Tak sedikit pula yang terpaksa memanfaatkan air kubangan yang sebenarnya tidak layak.

Dampak kedua juga sudah mulai muncul akhir-akhir ini. Udara panas dan agak lembap merupakan lingkungan kondusif bagi beberapa jenis hama untuk berkembang dan beraksi. Di berbagai daerah, wereng dan tikus telah menyerang areal tanaman pangan walaupun belum terlalu luas. Jika tidak ada upaya pencegahan, bukan tidak mungkin pada puncak kemarau akan terjadi ledakan hama yang merugikan tersebut. Tak kalah seriusnya adalah ancaman puso akibat kekurangan air. Sampai pertengahan Juli tanaman padi yang kekeringan dilaporkan terjadi di 28 kabupaten dan kota. Luasnya mencapai 14.527 hektare dan 2.961,5 puso.

Penyakit yang berhubungan erat dengan musim kering dan kekurangan air bersih telah mengintip. Di Purbalingga empat orang meninggal dunia akibat diare. Muntaber, kolera, disentri, dan sejenisnya diperkirakan akan merebak jika prinsip hidup bersih dan sehat terabaikan gara-gara air bersih langka. Belum lagi ancaman demam berdarah dengue atau malaria yang cukup menggiriskan karena kalau tak tertangani akan berakibat sangat fatal. Kesalahan kita adalah seringkali tidak melakukan antisipasi sejak dini dan baru terkaget-kaget setelah penyakit-penyakit tersebut mewabah dan menelan korban dalam jumlah besar.

Untuk itulah sejak sekarang butuh pengelolaan atas dampak kekeringan itu melalui prinsip antisipasi dan minimalisasi. Pada kasus kelangkaan air ada baiknya digalakkan budaya hemat air. Gunakan seperlunya dan tidak membuang-buang air untuk hal-hal tak perlu. Misalnya menyiram tanaman cukup dengan air bekas mencuci. Dalam menghindari ancaman hama dan puso, petani perlu diingatkan agar selalu memantau lahannya serta menanam tanaman yang tak membutuhkan banyak air, contohnya palawija. Kemerebakan penyakit di musim kemarau bisa diatasi dengan menerapkan budaya hidup bersih dan sehat.

Tidak ada komentar: