Minggu, 05 Oktober 2008

Investasi di Wonogiri: Semangat dan Kecemasan

Wonogiri segera mencatatkan sejarah baru. Daerah yang selama ini seolah-olah dihindari para investor, tahun ini akan merealisasi sebuah kawasan industri. Bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Guangxi, China, fasilitas tersebut dibangun di Alas Kethu. Nilainya tidak main-main, karena menyentuh angka Rp 82 triliun. Tidak mengherankan kalau Pemkab Wonogiri tampak serius merencanakan dan menggarap proyek yang diharapkan mampu membuka cakrawala baru bagi kabupaten yang selama ini selalu diidentikkan dengan hal-hal yang agak negatif, antara lain tiwul sebagai lambang kemiskinan dan keterbelakangan.

Direncanakan pada kawasan industri itu kelak akan berdiri sekitar 50 pabrik yang bergerak di berbagai sektor industri. Pabrik-pabrik tersebut diperkirakan dapat menampung 15 ribu tenaga kerja. Jika angka-angka itu benar-benar bisa diwujudkan, sungguh merupakan suatu prestasi tersendiri sekaligus pemicu bagi investor-investor lainnya untuk datang dan memberikan kontribusi positif bagi gerak maju Kabupaten Wonogiri beserta seluruh warga masyarakatnya. Selama ini investasi di eks Karesidenan Surakarta hanya memusat di beberapa daerah, yakni Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Sragen.

Namun, sebagaimana biasa suatu rencana pembangunan akan selalu mendapat reaksi, baik yang bersifat pro atau setuju dan kontra atau menentang. Demikian pula yang terjadi pada rencana pembangunan kawasan industri di Wonogiri. Pihak yang menentang beralasan lokasinya di Alas Kethu dinilai kurang tepat, karena bisa berdampak pada degradasi lingkungan. Hutan itu selama ini menjadi salah satu penyangga wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, sekaligus paru bagi udara di daerah tersebut. Jika keseimbangannya terganggu, akan merugikan lewat banjir dan pengurangan pasokan oksigen.

Pihak yang setuju menilai rencana pembangunan kawasan industri itu lebih banyak berdampak positif ketimbang negatifnya. Terutama pada aspek penyerapan tenaga kerja yang hingga kini menjadi latar belakang utama mengapa putra putri asli daerah yang pintar selalu pergi ke kota-kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bertahan di Wonogiri dianggap tidak memberikan harapan karena tidak banyak yang bisa dikerjakan. Kawasan industri itu diharapkan menjadi pemantik kegairahan investasi sehingga di masa mendatang akan kian banyak investor yang tertarik menanamkan modal di sana.

Jadi, tidak mengherankan kalau Bupati Begug Poernomosidi bersikap agak kaku. Ia menolak permohonan beberapa LSM untuk berdialog mengenai kerja sama Pemkab dengan Pemerintah Provisi Guangxi tersebut. Alasannya, kerja sama itu telah berjalan lancar sampai pada tahap sangat menentukan. Kerja sama itu juga merupakan upaya Pemkab untuk mengentaskan warga miskin dan penganggur yang menjadi persoalan mendasar di daerah pimpinannya. Selain itu, bupati berharap semua komponen masyarakat di Kabupaten Wonogiri memberikan dukungan positif agar kerja sama itu bisa terwujud dan berjalan baik.

Kekhawatiran beberapa LSM sebenarnya juga dimaklumi karena kawasan industri itu memanfaatkan sekitar 300 hektare dari luas keseluruhan Alas Kethu 783,50 hektare dan 49,9 hektare di antaranya masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Dari luas 300 hektare itu 100 hektare untuk sarana dan prasarana. Tentu,
sebuah pembangunan akan menimbulkan berbagai dampak. Itu semestinya sudah diantisipasi melalui berbagai aturan dan prosedur, terutama analisis mengenai dampak lingkungan. Lepas dari itu semua sebaiknya Bupati Wonogiri mau mendengarkan suara-suara kontra untuk dijadikan masukan berharga.

Perbankan dan Fungsi Edukasi Masyarakat

Harus diakui, interaksi antara perbankan dan masyarakat belumlah seintensif yang diharapkan. Masih banyak yang hanya tahu bahwa bank adalah tempat untuk menabung dan atau berutang. Padahal kini perbankan telah berkembang sedemikian pesat. Bank bisa dioptimalkan fungsinya untuk berbagai keperluan.
Di samping menabung dan mendapat kredit, bank bisa dimanfaatkan untuk melunasi tagihan, misalnya rekening listrik, air, dan telepon. Bahkan bisa dijadikan sarana investasi karena banyak bank yang melayani instrumen reksadana dan obligasi negara. Bisa pula untuk merencanakan keuangan di masa depan, antara lain melalui tabungan pendidikan dan tabungan pensiun.
Perbankan seolah-olah asyik sendiri dan agak mengabaikan salah satu fungsinya, yaitu memberikan edukasi atau pembelajaran kepada masyarakat. Padahal pemahaman masyarakat yang kurang memadai mengenai bank akan menghambat pemanfaatan institusi tersebut dalam meningkatkan kualitas hidup.
Hasil baseline survey tingkat literasi dan pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan dan perbankan tahun 2006 menyimpulkan edukasi sangat diperlukan. Untuk itulah Bank Indonesia (BI), bank-bank, dan asosiasi perbankan menetapkan tahun 2008 sebagai Tahun Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan.
Lewat slogan ''Ayo ke Bank'' dan ''Bank Sahabat Konsumen'' mereka berniat lebih mendekatkan diri kepada masyarakat luas.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan Januari 2004 ada program utama dalam peningkatan perlindungan dan pemberdayaan nasabah.
Yakni, (1) penyusunan mekanisme pengaduan nasabah bank; (2) pembentukan lembaga mediasi independen; (3) penyusunan standar transparansi informasi produk perbankan; dan (4) edukasi nasabah.
Penyusunan mekanisme pengaduan nasabah serta pembentukan lembaga mediasi independen bertujuan mengatasi persoalan yang terjadi antara nasabah dan bank.
Hampir setiap hari pada rubrik surat pembaca media cetak kita temukan keluhan, komplain, atau protes nasabah terhadap suatu bank. Ada masalah pelunasan tagihan kartu kredit, pelayanan kurang memuaskan, penagihan dengan cara-cara kurang beretika, dan sebagainya.
Komplain, keluhan, dan protes tersebut menunjukkan ada kesenjangan antara bank dan nasabah atau masyarakat. Untuk itulah standar transparansi informasi produk perbankan amat strategis sebagai titik awal mencegah kemungkinan timbul masalah antara nasabah dan bank.
Ditambah program edukasi kepada masyarakat secara intensif, diharapkan terbentuk relasi dan interaksi yang baik antara kedua pihak.
Edukasi atau pembelajaran pada intinya berupa pemberian informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan aktivitas perbankan beserta produk dan jasa yang ditawarkan. Dari situ diharapkan masyarakat memperoleh bekal informasi yang cukup sebelum berinteraksi dengan bank sehingga tidak terjadi kesenjangan yang akan menimbulkan persoalan.
Program edukasi juga diperlukan untuk mendorong kesetaraan hak dan kewajiban nasabah sebagai konsumen dengan bank sebagai pelaku usaha yang menyediakan produk dan jasa.
Dalam cetak biru yang disusun oleh Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Keuangan disebutkan visi program edukasi adalah mewujudkan masyarakat yang mempunyai pengetahuan dan informasi memadai, percaya diri, serta memahami fungsi, peran, manfaat, dan risiko produk serta jasa bank sehingga mampu mengelola keuangan secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Minat atau bank minded & awareness perlu dibangun untuk mendorong masyarakat agar menggali informasi mengenai manfaat, jenis, fungsi, dan peran bank. Minat dan partisipasi mereka diharapkan memicu pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang lebih luas di seluruh lapisan masyarakat.
Pemahaman tentang produk dan jasa bank serta kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai nasabah penting ditingkatkan supaya mengerti benar produk dan jasa perbankan serta hak dan kewajibannya. Dengan demikian masyarakat bisa memilih produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga kemungkinan timbul masalah bisa ditekan.

Manfaat dan Risiko
Masyarakat juga diminta meningkatkan sikap berhati-hati dalam transaksi keuangan sebagai tindak lanjut atas sikap kritis dalam memanfaatkan produk dan jasa perbankan. Nasabah diharapkan mengerti benar risiko yang terkandung dalam produk dan jasa tersebut, di samping manfaat yang diperoleh.
Lewat kesadaran dan pemahaman terhadap manfaat dan risiko itu, nasabah bisa menetapkan pilihannya secara bijaksana.
Sarana dan mekanisme pengaduan serta penyelesaian sengketa penting diketahui untuk menciptakan kesetaraan hubungan antara bank dan masyarakat selaku nasabah. Sarana dan cara atau mekanisme yang telah disediakan perlu dimanfaatkan untuk menghindari konflik yang merugikan baik dari segi waktu, biaya, maupun reputasi.
Biasanya kantor cabang bank punya customer service yang bertugas melayani nasabah atau calon nasabah. Di samping itu, brosur tentang produk dan jasa suatu bank gampang kita temukan pada kantor cabang, kantor kas, dan gerai-gerai bank bersangkutan.
Persoalannya adalah edukasi lewat sarana itu bersifat pasif. Masyarakat harus proaktif menghubungi bank untuk meminta penjelasan atau menyampaikan keluhan.
Sebagian bank juga menyediakan call center atau nomor telepon bebas biaya yang bisa dihubungi setiap saat. Namun fungsi edukasinya belum optimal sehingga kesenjangan antara perbankan dan masyarakat kian melebar.
Untuk itulah perlu dibentuk tim edukasi dari tingkat provinsi hingga kecamatan yang melibatkan BI, bank-bank, serta asosiasi perbankan. Edukasi dilakukan secara periodik, misalnya tiap dua minggu, dipadukan dengan kegiatan-kegiatan rekreatif. Bisa dengan jalan sehat yang dimeriahkan panggung hiburan.
Di samping itu, forum-forum resmi semisal seminar atau diskusi mengenai perbankan bisa dioptimalkan untuk melaksanakan fungsi edukasi.
Tim bisa mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah, kampus perguruan tinggi, instansi pemerintah, kantor-kantor perusahaan swasta, pasar-pasar, serta para petani. Acaranya disesuaikan dengan kondisi, tetapi pada prinsipnya menciptakan suasana gembira dan bersahabat sehingga proses pembelajaran berjalan baik.
Untuk menjangkau daerah-daerah pelosok atau terpencil penting diluncurkan mobile bank berupa kendaraan yang berfungsi sebagai gerai pelayanan sekaligus pusat informasi. Kendaraan tersebut bisa berupa mobil, sepeda motor, atau perahu, bergantung pada medan dan transportasinya.
Layanan yang bersifat mobile itu sangat luwes. Petugasnya bisa memberikan edukasi kepada masyarakat di pedesaan atau wilayah pelosok dengan bahasa yang gampang mereka terima. Untuk menekan beban biaya, bank-bank bisa bergabung.
Situs masing-masing bank juga perlu ditangani dan dikelola sebaik-baiknya. Antara selalu diperbarui dengan tampilan dan isi yang dapat didayagunakan oleh pengaksesnya. Lewat internet masyarakat bisa ''belajar'' secara mandiri mengenai produk dan jasa yang ditawarkan suatu bank.
Warnet-warnet kini telah menyentuh kehidupan masyarakat di kota-kota kecamatan. Jadi pemanfaatan internet sangat strategis, karena menjangkau semua orang tanpa berbagai batasan. Meski penggunanya sekarang masih sedikit, diperkirakan satu dua tahun lagi akan terjadi booming internet.
Ponsel yang sekarang bukan lagi merupakan barang mewah dapat dijadikan sarana mengedukasi masyarakat. Melalui pendayagunaan short message service (SMS) atau pesan singkat bank seolah-olah berada di tangan setiap pemegang ponsel.
Lewat SMS masyarakat bisa menanyakan seluk-beluk sebuah bank secara detail. Bank-bank tinggal menyediakan petugas khusus beserta perangkatnya untuk melayani mereka. Interaksi itu melalui ponsel merupakan pijakan awal menuju e-banking.
E-banking atau m (mobile)-banking merupakan gaya hidup masyarakat modern yang efisien dan efektif. Banyak yang bisa dihemat, misalnya, untuk mentransfer uang dan mengecek saldo tidak perlu datang ke bank, tetapi cukup menggunakan internet atau ponsel.
Namun masyarakat perlu diingatkan agar hati-hati dan waspada karena ada ancaman berupa kejahatan dunia maya. Mereka harus selalu diingatkan bagaimana melakukan transaksi yang aman untuk menghindari risiko menjadi korban penipuan dan kejahatan lainnya.

Sisi Lain Perilaku Konsumtif saat Ramadan

Sudah biasa pada saat Ramadan terjadi peningkatan pembelian, terutama barang-barang kebutuhan pokok. Sebagian besar warga yang memeluk agama Islam ingin memuliakan bulan puasa yang datang setahun sekali. Antara lain melalui hidangan buka puasa dan sahur yang lebih istimewa dibandingkan dengan hari-hari biasa. Ada aneka makanan kecil dan minuman pembuka di samping menu utama berupa nasi, lauk, dan sayur. Jika menu pada hari-hari di luar bulan Puasa cenderung seadanya baik karena kesibukan maupun budget, di bulan suci penuh rahmat berubah menjadi lebih baik dan terencana.

Rasanya tak ada yang salah sepanjang masih dalam batas kewajaran atau tidak berlebih-lebihan. Persoalannya adalah setiap Ramadan yang diakhiri dengan Lebaran muncul fenomena yang disebut inflasi musiman. Pada saat-saat itu terjadi lonjakan permintaan kebutuhan pokok. Pemerintah dipaksa menjamin ketersediaan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat tersebut karena jika tidak, berpotensi menimbulkan gejolak, terutama akibat kenaikan harga-harga yang tidak terkendali. Fenomena demikian sudah lama terjadi sehingga pemerintah tahu benar bagaimana mengantisipasi segala kemungkinan.

Penting diwaspadai jika pola konsumsi atau perilaku konsumtif sudah mengarah pada tingkat berlebihan. Di samping tidak selaras dengan nilai-nilai yang hendak ditanamkan melalui ibadah puasa itu sendiri, akan berbahaya bagi kondisi perekonomian. Puasa antara lain justru ingin menumbuhkan toleransi kepada kaum dhuafa yang seringkali hanya makan seadanya sekali atau dua kali sehari. Bukan berlomba-lomba memuaskan nafsu konsumsi, khususnya terhadap makanan. Bukan hanya dari segi agama berlebih-lebihan itu tidak baik. Dari segi kesehatan pun demikian, bahkan bisa mengundang berbagai penyakit.

Lonjakan permintaan terhadap berbagai jenis barang kebutuhan pokok kalau tidak diimbangi dengan peningkatan penawaran akan memicu kenaikan harga. Kenaikan harga secara umum dalam istilah ekonomi disebut inflasi yang secara teoretis bisa sebagai penggerak atau justru perusak perekonomian. Jika inflasi dalam setahun di bawah 10%, masih dalam batas aman dan dipercaya sebagai motor penggerak ekonomi. Sebab, kenaikan harga pada tingkat yang rendah merupakan pertanda peningkatan aktivitas ekonomi yang berarti roda ekonomi menuju kemajuan. Sebaliknya, inflasi di atas 10% bisa merusak atau menghambat.

Dalam batas-batas terkendali, peningkatan konsumsi tersebut juga berdampak positif terhadap usaha kecil menengah, khususnya yang memproduksi makanan dan minuman. Industri rumahan roti dan kue, perajin manisan, serta pedagang minuman dan makanan kecil hanyalah sekian dari banyak contoh pelaku usaha skala kecil yang menangguk berkah Ramadan. Omzet mereka dipastikan naik berlipat-lipat, bahkan ada yang di atas 100% jika dibandingkan dengan bulan-bulan di luar Ramadan. Dengan keuntungan besar tersebut mereka diharapkan bisa mengumpulkan modal cukup banyak untuk meningkatkan usahanya.

Dampak positif bagi usaha kecil menengah tersebut merupakan sisi lain dari budaya konsumtif pada bulan Puasa yang dicemaskan oleh berbagai pihak. Sepanjang tidak berlebihan atau wajar-wajar saja, hal tersebut masih bisa ditoleransi. Persoalannya adalah perilaku dan budaya konsumtif itu seolah-olah terus dipacu dan dirangsang oleh promosi serta iklan-iklan yang seringkali berkesan amat vulgar. Dalam kepungan iming-iming produsen orang cenderung gampang bertindak tidak terencana, tidak bijak, dan tidak rasional. Membeli bukan karena kebutuhan, tetapi terjebak bujuk rayu produsen yang menghanyutkan.