Minggu, 05 Oktober 2008

Sisi Lain Perilaku Konsumtif saat Ramadan

Sudah biasa pada saat Ramadan terjadi peningkatan pembelian, terutama barang-barang kebutuhan pokok. Sebagian besar warga yang memeluk agama Islam ingin memuliakan bulan puasa yang datang setahun sekali. Antara lain melalui hidangan buka puasa dan sahur yang lebih istimewa dibandingkan dengan hari-hari biasa. Ada aneka makanan kecil dan minuman pembuka di samping menu utama berupa nasi, lauk, dan sayur. Jika menu pada hari-hari di luar bulan Puasa cenderung seadanya baik karena kesibukan maupun budget, di bulan suci penuh rahmat berubah menjadi lebih baik dan terencana.

Rasanya tak ada yang salah sepanjang masih dalam batas kewajaran atau tidak berlebih-lebihan. Persoalannya adalah setiap Ramadan yang diakhiri dengan Lebaran muncul fenomena yang disebut inflasi musiman. Pada saat-saat itu terjadi lonjakan permintaan kebutuhan pokok. Pemerintah dipaksa menjamin ketersediaan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat tersebut karena jika tidak, berpotensi menimbulkan gejolak, terutama akibat kenaikan harga-harga yang tidak terkendali. Fenomena demikian sudah lama terjadi sehingga pemerintah tahu benar bagaimana mengantisipasi segala kemungkinan.

Penting diwaspadai jika pola konsumsi atau perilaku konsumtif sudah mengarah pada tingkat berlebihan. Di samping tidak selaras dengan nilai-nilai yang hendak ditanamkan melalui ibadah puasa itu sendiri, akan berbahaya bagi kondisi perekonomian. Puasa antara lain justru ingin menumbuhkan toleransi kepada kaum dhuafa yang seringkali hanya makan seadanya sekali atau dua kali sehari. Bukan berlomba-lomba memuaskan nafsu konsumsi, khususnya terhadap makanan. Bukan hanya dari segi agama berlebih-lebihan itu tidak baik. Dari segi kesehatan pun demikian, bahkan bisa mengundang berbagai penyakit.

Lonjakan permintaan terhadap berbagai jenis barang kebutuhan pokok kalau tidak diimbangi dengan peningkatan penawaran akan memicu kenaikan harga. Kenaikan harga secara umum dalam istilah ekonomi disebut inflasi yang secara teoretis bisa sebagai penggerak atau justru perusak perekonomian. Jika inflasi dalam setahun di bawah 10%, masih dalam batas aman dan dipercaya sebagai motor penggerak ekonomi. Sebab, kenaikan harga pada tingkat yang rendah merupakan pertanda peningkatan aktivitas ekonomi yang berarti roda ekonomi menuju kemajuan. Sebaliknya, inflasi di atas 10% bisa merusak atau menghambat.

Dalam batas-batas terkendali, peningkatan konsumsi tersebut juga berdampak positif terhadap usaha kecil menengah, khususnya yang memproduksi makanan dan minuman. Industri rumahan roti dan kue, perajin manisan, serta pedagang minuman dan makanan kecil hanyalah sekian dari banyak contoh pelaku usaha skala kecil yang menangguk berkah Ramadan. Omzet mereka dipastikan naik berlipat-lipat, bahkan ada yang di atas 100% jika dibandingkan dengan bulan-bulan di luar Ramadan. Dengan keuntungan besar tersebut mereka diharapkan bisa mengumpulkan modal cukup banyak untuk meningkatkan usahanya.

Dampak positif bagi usaha kecil menengah tersebut merupakan sisi lain dari budaya konsumtif pada bulan Puasa yang dicemaskan oleh berbagai pihak. Sepanjang tidak berlebihan atau wajar-wajar saja, hal tersebut masih bisa ditoleransi. Persoalannya adalah perilaku dan budaya konsumtif itu seolah-olah terus dipacu dan dirangsang oleh promosi serta iklan-iklan yang seringkali berkesan amat vulgar. Dalam kepungan iming-iming produsen orang cenderung gampang bertindak tidak terencana, tidak bijak, dan tidak rasional. Membeli bukan karena kebutuhan, tetapi terjebak bujuk rayu produsen yang menghanyutkan.

Tidak ada komentar: