Senin, 04 Agustus 2008

Antisipasi dan Minimalisasi Dampak Kekeringan

Agustus diperkirakan akan menjadi puncak musim kemarau. Data Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan curah hujan menurun drastis. Pada bulan Juni lalu angka perkiraannya masih berkisar 50-200 mm per bulan, tetapi Agustus tinggal 0-50 mm per bulan. Puncak musim kemarau antara lain ditandai oleh suhu udara tinggi serta kesulitan memperoleh air. Tanda-tanda itu sejak Juli sudah terasa. Di berbagai daerah mulai ada pengedropan air ke wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan akibat debit sumber-sumber air yang selama ini diandalkan warga jauh menyusut, bahkan kerontang.

Hingga Juli dilaporkan 24 dari 35 kabupaten dan kota atau dua per tiga wilayah di Jateng kekeringan. Memasuki Agustus diperkirakan terus meluas. Padahal kemungkinan kemarau akan berlangsung sampai November atau awal Desember. Berarti berbagai penderitaan akibat kekeringan berjalan cukup panjang. Air akan menjadi barang berharga mahal. Apalagi sebagian besar waduk atau bendung yang dibangun sebagai penyangga untuk pemenuhan kebutuhan air kini dalam keadaan kritis. Ketinggian air atau elevasi Waduk Kedungombo per 20 Juli lalu berada di bawah normal. Demikian pula Waduk Gajahmungkur di Wonogiri.

Ada tiga dampak besar akibat kekeringan yang memerlukan perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh, yakni kelangkaan air bersih, ancaman hama dan puso pada tanaman budi daya pertanian, serta kemunculan berbagai jenis penyakit. Dampak yang pertama sejak dua bulan lalu sudah terungkap ke permukaan melalui media massa. Hampir setiap hari kita baca atau tonton bagaimana warga harus jalan kaki berkilo-kilometer hanya untuk memperoleh dua ember air. Ada yang membuat sumur di sungai-sungai yang telah mengering. Tak sedikit pula yang terpaksa memanfaatkan air kubangan yang sebenarnya tidak layak.

Dampak kedua juga sudah mulai muncul akhir-akhir ini. Udara panas dan agak lembap merupakan lingkungan kondusif bagi beberapa jenis hama untuk berkembang dan beraksi. Di berbagai daerah, wereng dan tikus telah menyerang areal tanaman pangan walaupun belum terlalu luas. Jika tidak ada upaya pencegahan, bukan tidak mungkin pada puncak kemarau akan terjadi ledakan hama yang merugikan tersebut. Tak kalah seriusnya adalah ancaman puso akibat kekurangan air. Sampai pertengahan Juli tanaman padi yang kekeringan dilaporkan terjadi di 28 kabupaten dan kota. Luasnya mencapai 14.527 hektare dan 2.961,5 puso.

Penyakit yang berhubungan erat dengan musim kering dan kekurangan air bersih telah mengintip. Di Purbalingga empat orang meninggal dunia akibat diare. Muntaber, kolera, disentri, dan sejenisnya diperkirakan akan merebak jika prinsip hidup bersih dan sehat terabaikan gara-gara air bersih langka. Belum lagi ancaman demam berdarah dengue atau malaria yang cukup menggiriskan karena kalau tak tertangani akan berakibat sangat fatal. Kesalahan kita adalah seringkali tidak melakukan antisipasi sejak dini dan baru terkaget-kaget setelah penyakit-penyakit tersebut mewabah dan menelan korban dalam jumlah besar.

Untuk itulah sejak sekarang butuh pengelolaan atas dampak kekeringan itu melalui prinsip antisipasi dan minimalisasi. Pada kasus kelangkaan air ada baiknya digalakkan budaya hemat air. Gunakan seperlunya dan tidak membuang-buang air untuk hal-hal tak perlu. Misalnya menyiram tanaman cukup dengan air bekas mencuci. Dalam menghindari ancaman hama dan puso, petani perlu diingatkan agar selalu memantau lahannya serta menanam tanaman yang tak membutuhkan banyak air, contohnya palawija. Kemerebakan penyakit di musim kemarau bisa diatasi dengan menerapkan budaya hidup bersih dan sehat.

Kekeringan Terus Berulang dan Kian Parah

Musim kemarau baru memasuki bulan-bulan awal tetapi kekeringan telah melanda hampir seluruh daerah di Jateng. Kisah orang harus menempuh jarak beberapa kilometer untuk memperoleh satu dua ember air barangkali telah menjadi sesuatu yang biasa. Media massa selalu menayangkan, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sesuatu yang terus dipampangkan di depan kita secara berulang-ulang akan membuat rasa jadi kebal. Itulah yang terjadi pada kasus-kasus kekeringan pada saat ini. Solusinya pun bersifat instan, yakni pengedropan bantuan air bersih ke daerah-daerah yang mengalami kekeringan. Kegiatan itu telah menjadi rutinitas.

Hingga kini belum tampak ada upaya serius dan komprehensif dalam mengantisipasi kekeringan yang terjadi tiap musim kemarau. Kita maklum bahwa musim adalah persoalan alam yang sulit dilawan. Kata dilawan sebenarnya kurang tepat, karena yang bisa dilakukan adalah menyelaraskan atau menyesuaikan. Alam selalu mencari titik keseimbangan. Jika keseimbangan itu terganggu, akan muncul gejala-gejala alamiah yang oleh manusia dianggap sebagai bencana, misalnya banjir dan kekeringan. Musim dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, angin, dan luasan hutan. Jika salah satu terganggu atau berubah, musim pun akan terpengaruh.

Pengaruh iklim secara global menyebabkan musim kemarau dan penghujan di negeri tidak berjalan secara teratur. Seringkali kemarau berlangsung lebih panjang dan kering sehingga berdampak terhadap persediaan air. Padahal air merupakan salah satu kebutuhan vital manusia. Di samping untuk kebutuhan sehari-hari semisal minum dan memasak, air diperlukan dalam budi daya pertanian. Sudah sejak lama ada upaya menampung air dalam bentuk waduk atau bendungan. Namun bangunan teknis yang diharapkan saat kemarau masih bisa memasok air tersebut kini juga banyak yang kering walaupun hujan baru beberapa bulan berhenti.

Di wilayah pantai utara Jateng, misalnya, dua waduk besar, yakni Cacaban di Tegal dan Malahayu di Brebes saat ini volume airnya dalam keadaan kritis sehingga Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Pemali-Comal mulai mengurangi pengeluaran air sebagai langkah penghematan. Elevasi atau tinggi permukaan air Waduk Cacaban kini 72,89 m dengan volume 23,79 juta m3, padahal normalnya 74,42 m dan 31,20 juta m3. Demikiann pula Waduk Malahayu, elevasinya saat ini 53,18 m dan volume 21,08 m3, padahal agar berfungsi normal sebagai pemasok air saluran irigasi pertanian semestinya elevasi 55,87 m dan volume 37,88 juta m3.

Keadaan serupa juga terjadi pada waduk-waduk besar lain di provinsi ini, contohnya Gajahmungkur di Wonogiri dan Kedungombo di Boyolali, serta bendung-bendung kecil yang tersebar di berbagai daerah. Penyebab waduk dan bendung tersebut kritis antara lain pendangkalan akibat erosi serta penyusutan pasokan air dari sungai dan sumber-sumber air. Semua itu bermuara pada pemeliharaan kawasan hutan yang kurang optimal baik karena penebangan liar maupun alih fungsi secara sengaja menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian, industri, dan sebagainya. Sangat disayangkan alih fungsi hutan itu justru cenderung makin intensif.

Agar kekeringan parah tidak selalu berulang tiap kemarau datang, kita butuh pendekatan yang lebih tepat sasaran. Bantuan air bersih kurang produktif dan malah bisa bisa membuat manja. Sejak sekarang harus ada komitmen menjaga hutan, kawasan yang berfungsi sebagai peresapan air, serta mata-mata air. Penghijauan penting dijadikan sebagai budaya, bukan hanya formalitas. Masyarakat sendirilah yang wajib menjaga hutan serta sumber-sumber air supaya tidak gampang dialihfungsikan menjadi perumahan, jalan, atau pabrik. Tiap keluarga juga dipandang perlu menerapkan prinsip peresapan air, antara lain lewat biopori dan tandon atau embung.

Saat Emosi Para Orang Tua Terkuras

Juni dan Juli merupakan bulan yang menguras emosi para orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Setelah menanti pengumuman ujian nasional yang dipenuhi perasaan tak pasti serta kekhawatiran, selanjutnya dihadapkan pada perjuangan mencari sekolah terbaik bagi anaknya. Lulusan SD ke SMP, tamatan SMP ke SMA atau SMK, dan yang telah lepas dari SMA sederajat ke perguruan tinggi. Kecemasan dan tekanan perasaan seperti mata rantai yang sambung menyambung. Orang tua dipaksa memiliki daya tahan fisik dan mental yang cukup baik supaya tidak gampang sakit dan stres menghadapi situasi demikian.

Sekarang memang sangat berbeda dari dua atau tiga dasa warsa yang lalu. Untuk masuk SMP yang berkualitas standar sudah membutuhkan strategi dan kerja keras, apalagi yang tergolong unggulan dan tentu saja jumlahnya amat tidak sebanding dengan para peminat. Seleksi biasanya menggunakan hasil ujian nasional ditambah tes-tes khusus yang diselenggarakan masing-masing sekolah. Begitu seleksi tuntas dan sudah ada kepastian diterima atau tidak pada sekolah yang dituju, muncul persoalan baru. Bagi yang tidak lolos mau tidak mau harus mencari sekolah lain yang dari segi kualitas agak di bawah standar.

Selesai? Belum! Setelah diterima di sekolah atau perguruan tinggi orang tua dihadapkan pada berbagai tarikan biaya. Mulai uang seragam, uang buku, sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) atau sumbangan pengembangan institusi (SPI), hingga uang gedung. Bagi masyarakat yang termasuk kelompok mampu, tidak perlu pusing. Sebaliknya, bagi mereka yang masuk kategori pas-pasan atau bahkan miskin, tekanan itu belum mereda. Harus pontang-panting mencari pinjaman ke sana ke mari untuk memenuhi kebutuhan anaknya supaya bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang dianggap baik.

Uang seragam, buku, dan SPP mungkin masih terjangkau oleh sebagian masyarakat. Namun sumbangan untuk berbagai kegiatan serta uang gedung bernilai cukup besar karena bisa jutaan rupiah. Antara sekolah swasta dan negeri selisihnya tidak terlampau jauh. Bahkan pada sekolah negeri unggulan atau berstandar internasional nyaris sama dengan sekolah swasta berkualitas baik. Penarikan sumbangan tersebut bisa dipahami karena sekolah butuh sarana untuk mengembangkan diri, padahal subsidi dari pemerintah tidak mencukupi. Beban tersebut perlu dibagi dengan masyarakat selaku salah satu stakeholder pendidikan.

Namun kebijakan mengenai sumbangan dari orang tua murid perlu dipertimbangkan secara arif sebelum diputuskan. Situasi dan kondisi pada saat ini bisa dikatakan kurang baik, terutama akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Mei lalu. Kenaikan harga BBM itu berdampak besar terhadap seluruh lini kehidupan. Harga barang-barang lain dan jasa ikut melonjak, sedangkan pendapatan masyarakat tetap atau justru berkurang akibat ditelan inflasi. Di sinilah dibutuhkan suatu kebijakan yang bijak. Artinya, tidak menambah beban masyarakat yang sudah berat dan tak tertahankan.

Prinsip transparansi perlu dikedepankan. Rencana penarikan sumbangan dari murid baru harus disertai perincian penggunaannya, kemudian dikomunikasikan dengan komite sekolah dan orang tua wali murid. Tidak boleh bersifat memaksa, apalagi dikaitkan dengan diterima atau tidak murid bersangkutan. Model subsidi silang baik diterapkan, yakni yang tidak mampu diberi semacam diskon dan ditutup dari yang termasuk mampu. Soal sumbangan butuh pengaturan yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan. Ada pemikiran masalah itu diberi payung hukum berupa peraturan bupati atau wali kota.

Menggugah Kepedulian Kita pada Museum

Pada benak sebagian besar di antara kita museum hampir selalu diidentikkan dengan hal-hal kuno, sehingga tidak layak memperoleh perhatian khusus. Kita lebih senang mengejar hal-hal yang bersifat baru, sehingga tidak mengherankan jika banyak museum merana, tak terawat, dan terabaikan. Padahal sebenarnya museum mempunyai banyak dimensi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia meskipun tidak secara langsung. Masa lalu berupa sejarah dan barang-barang peninggalan bisa menjadi cermin dan sarana belajar supaya kehidupan masa depan menjadi lebih baik. Di samping itu, museum dalam arti luas mampu memberikan pencerahan, bahkan inspirasi bagi kita yang hidup di masa kekinian.

Di tengah sikap abai dan kurang perhatian itu muncul kasus pencurian dan pemalsuan di Museum Radya Pustaka Solo. Lima arca koleksinya diduga telah ditukar dengan barang palsu. Petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng curiga saat menginventarisasi aset museum pada akhir September lalu. Bukan hanya itu, lampu gantung yang terbuat dari perunggu diduga tidak asli lagi. Sekitar tahun 2000 museum yang didirikan tahun 1890 dan dikelola Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta itu telah kehilangan patung yang diletakkan di luar. Ada kemungkinan kehilangan dan pemalsuan tersebut terus bertambah jumlahnya kalau ditelusuri lagi lebih cermat karena koleksinya cukup banyak.

Kasus pencurian dan pemalsuan koleksi Museum Radya Pustaka kini telah berada di tangan polisi. Kita berharap segera terkuak dan para tersangkanya diadili. Terlepas dari itu yang lebih penting adalah menempatkan kasus tersebut sebagai pemicu untuk menggugah kembali kesadaran untuk peduli terhadap museum. Barangkali jika pencurian dan pemalsuan itu tidak diungkapkan dan kemudian menjadi berita yang cukup menghebohkan di media massa, perhatian kita tidak akan terusik. Sebab, dengan agak sinis bisa dikatakan museum beserta segala perniknya tidak mempunyai manfaat langsung di tengah-tengah masyarakat yang masih disibukkan oleh urusan perut akibat perekonomian belum juga membaik.

Kali pertama yang perlu dilakukan adalah membenahi pengelolaannya, khususnya menyangkut keamanan dan perawatan. Ada museum yang ditangani pemerintah dan ada pula yang berada di bawah naungan yayasan. Kita sudah sering mendengar bahwa dana pengelolaan baik yang berada di bawah pemerintah maupun yayasan tergolong kecil. Mengharapkan pendapatan dari karcis masuk sebagai objek pariwisata pun tidak mungkin. Apalagi untuk menggaji karyawan yang besarannya tidak terlampau istimewa, untuk membayar rekening listrik saja banyak museum yang kepontal-pontal. Tidak sedikit yang terpaksa menerapkan jurus gali lubang tutup lubang, atau menebalkan muka sebagai penunggak.

Dalam situasi dan kondisi yang serba memprihatinkan itu sebenarnya kita tidak perlu terkejut kalau terjadi kasus pencurian dan pemalsuan barang-barang koleksi museum. Pengamanan yang kurang optimal menyebabkan para pelaku kriminal yang mengincar harta berharga tidak terlalu sulit membobol. Iming-iming uang dalam jumlah besar juga menjadi godaan berat yang gampang membuat pikiran ''orang dalam'' tergiur. Di negara-negara lain museum ditempatkan pada posisi bergengsi, sehingga amat dihargai. Di samping memperoleh dana dari pemerintah atau pendonor tetap, rata-rata dikelola secara profesional dan dijadikan objek wisata yang mampu mendatangkan pemasukan cukup tinggi.

Belum terlambat untuk menggugah semua pihak agar peduli pada museum-museum yang menyimpan harta tak ternilai harganya. Jangan sampai kita baru berteriak-teriak ketika isinya sudah pindah ke mancanegara atau lenyap tak berbekas akibat ulah para pelaku kriminal. Paling tidak masyarakat bisa menghargai bahwa wahana tersebut merupakan sarana untuk belajar dan bercermin dalam upaya mengejar kemajuan. Pemerintah, yayasan, dan lembaga-lembaga yang berkepentingan diharapkan makin meningkatkan peranannya dalam pengelolaan museum. Mencontoh negara-negara lain, sebenarnya jika dikelola secara sungguh-sungguh, museum-museum itu bisa menghidupi diri sendiri.

Saatnya Pedesaan Ditangani Serius

Pada awal-awal masa pemerintahannya Presiden pernah mengungkapkan hendak memberikan perhatian pada bidang pertanian dan pembangunan pedesaan. Perhatian itu tidaklah berlebihan jika mengingat basis negara kita adalah pertanian dan sebagian besar penduduk tinggal di wilayah pedesaan. Bahkan sudah semestinya kedua hal tersebut memperoleh perhatian khusus. Bukan sekadar dijadikan sebagai bahan slogan atau tema diskusi dan seminar di hotel-hotel berbintang. Sudah berulang-ulang diingatkan agar wilayah pedesaan diberi perhatian secara proporsional, namun hingga sekarang realisasinya cenderung bersifat parsial, sepotong-sepotong, bahkan hanya lips service.

Hingga kini pedesaan yang juga identik dengan pertanian masih dipandang sebelah mata. Kawasan itu masih dianggap sebagai gambaran keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Celakanya, citra yang sekian lama telanjur melekat itu tidak membuat para penentu kebijakan tergerak untuk mengubah lewat terobosan-terobosan penting, melainkan cenderung ditinggalkan. Akibatnya, sebagian besar desa tetap terbelakang dan miskin, sehingga para generasi mudanya berbondong-bondong ke kota memburu lapangan pekerjaan atau menyeberang ke negara-negara lain menjadi TKI. Desa dianggap tidak mampu menerbitkan secercah harapan, apalagi masa depan yang cerah.

Kalau mau berterus terang, potensi wilayah pedesaan belum dikembangkan secara optimal sehingga pergerakan ekonominya berjalan lamban. Sumber daya alam dan manusia berlimpah, tetapi ibarat intan belum digosok secara benar dan serius sehingga belum mampu menimbulkan dampak yang cukup berarti. Pertanian dalam arti luas, industri kecil dan rumahan, pertambangan, bahkan jasa berpeluang tumbuh dan berkembang kalau ditangani dengan penuh kesungguhan. Persoalannya adalah kebijakan kurang berpihak pada wilayah pedesaan, atau kalaupun ada kebijakan itu bersifat setengah hati. Selama ini perhatian kita lebih banyak tertuju ke perkotaan dan mengabaikan pedesaan.

Program-program pembangunan wilayah pedesaan sekarang makin lemah jika dibandingkan dengan dua atau tiga dasawarsa yang lalu. Penyediaan infrastruktur juga kurang. Contohnya jaringan irigasi atau pengairan yang rata-rata memprihatinkan sehingga budi daya pertanian tidak berlangsung optimal. Airnya ada, tetapi kalau jaringan irigasinya nihil tidak akan sampai ke tanaman yang membutuhkan. Pengembangan industri kecil dan rumahan pun tidak dilakukan sebagai program yang menyeluruh dan berkelanjutan. Jadi, tidak mengherankan kalau masyarakat pedesaan mencari kehidupan yang lebih menjanjikan ke perkotaan. Urbanisasi pun tak lagi bisa terelakkan.

Lebaran yang baru saja berlalu seolah kembali mengingatkan kita pada pedesaan lewat tradisi mudik ke kampung halaman yang dilakukan oleh para perantau di kota-kota besar. Tidak semua perantau menggapai kesuksesan. Banyak yang termasuk kelompok marginal. Berpijak dari kenyataan itu tidak berlebihan jika kita mulai bergerak mengembangkan pedesaan beserta segala potensinya. Sebab, urbanisasi yang terus berlanjut pada akhirnya akan menimbulkan masalah sosial yang amat kompleks. Sebelum telanjur ruwet dan susah diurai ada baiknya kawasan pedesaan ditangani untuk mencegah kecenderungan makin lama kian kehilangan sumber daya manusia.

Sekarang kita hendak menagih pernyataan Presiden yang akan memberikan perhatian terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian. Kali pertama adalah menyediakan infrastruktur yang memadai agar roda ekonomi berjalan sebagaimana yang diharapkan. Jalan, listrik, telepon, dan jaringan irigasi adalah beberapa di antara sarana yang sangat diharapkan. Pemerintah cukup memberikan stimulans, kemudian masyarakat sendiri yang akan melanjutkan secara swadaya. Dari situ kita berharap akan tumbuh dan berkembang pertanian berbasis industri atau agroindustri dan agrobisnis, industri-industri kecil, serta jasa di pedesaan. Dengan demikian desa bukan lagi cermin keterbelakangan.

Sebuah Pelajaran yang Berharga

Untuk kali kedua mantan wali kota Surakarta Slamet Suryanto kesandung masalah hukum. Belum lagi tuntas kasus dugaan korupsi perubahan APBD 2004, kini ia resmi menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan buku pelajaran. Berdasarkan hasil penyidikan yang bersangkutan berperan aktif menyetujui prpyek itu pada tahun 2003 yang diduga menyimpang dan menyebabkan kerugian negara Rp 3,7 miliar. Kasus itu juga telah menyeret beberapa pejabat dan mantan pejabat. Antara lain mantan sekda; mantan kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga; kepala dinas yang masih aktif, serta pemimpin proyek.

Berita tersebut mungkin menjadi teramat biasa karena masyarakat sudah sering membaca atau menyimak kasus-kasus serupa. Contohnya beberapa anggota DPRD Banyumas terpaksa masuk penjara karena terbukti mengorupsi APBD. Ada pula bupati yang harus menjadi pesakitan karena menyelewengkan anggaran untuk kepentingan pribadi. Korupsi bagai lingkaran setan tak berujung. Korban-korbannya berjatuhan tak henti-henti. Otonomi daerah yang memberi kewenangan begitu besar kepada para kepala daerah sering menjadi kambing hitam. Ada yang bilang sekarang korupsi pindah dari pusat ke daerah.

Pertanyaannya adalah kenapa para pejabat di daerah baik eksekutif maupun legislatif tak mau belajar dari kasus yang menimpa rekan-rekan mereka. Setelah kasus korupsi di suatu daerah mencuat, tidak lama kemudian disusul daerah lainnya. Begitu seterusnya. Mereka seperti tak kapok untuk mencoba mengakali keuangan daerah untuk menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya. Bahkan banyak yang merasa tidak pernah melakukan korupsi. Dalam bahasa mereka yang terjadi hanya kesalahan prosedur atau kekeliruan administrasi. Begitu gampang orang-orang itu berkilah setelah makan anggaran yang menjadi hak rakyat.

Kita menginginkan ke depan tak lagi ada kepala daerah, para pejabat, serta wakil rakyat yang terhormat menjadi pesakitan akibat keteledoran mereka. Sudah cukup kasus-kasus sebelumnya sebagai pelajaran sangat berharga. Tak ada gunanya mengulang kebodohan yang akan menurunkan citra, harga diri, dan kehormatan. Menjadi pemimpin atau pejabat merupakan amanah. Memimpin adalah melayani, bukan mengakali rakyat. Jika mengkhianati rakyat yang telah menyerahkan kepercayaannya, tentu ada risiko-risiko yang mesti ditanggung. Paling tidak rasa hormat akan meluntur, bahkan bisa menjadi sebuah kebencian.

Seharusnya ada efek jera setelah melihat betapa menyedihkan para pejabat yang tersandung perkara pidana, khususnya korupsi. Dulu mungkin begitu disanjung dan disegani oleh masyarakat dan bawahannya. Setelah menjalani hidup di bui dan kembali menjadi orang biasa keadaan sudah lain. Barangkali mereka yang pernah dekat akan menjauh. Itu suatu siksaan psikologis tersendiri yang terasa amat pedih. Namun ada pula yang seperti kebal atau malah bebal. Orang-orang seperti itu tak pernah merasa bersalah, apalagi berupaya memperbaiki diri. Bagi mereka, uang adalah segalanya, termasuk untuk membeli kehormatan.

Kini muncul wacana hukuman mati bagi koruptor di samping hukuman sosial berupa pengucilan dari pergaulan. Semestinya itu menjadi peringatan dini bagi mereka yang punya niat untuk melakukan tindak pidana korupsi ketika menduduki posisi strategis, jabatan tertentu, atau pemimpin. Euforia menjadi raja-raja kecil di daerah sudah saatnya diakhiri. Kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar memang cenderung korup. Rakyat dan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai kontrol harus menjalankan perannya. Jangan lagi ada orang-orang terhormat terpeleset karena menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan pribadi.